Memaafkan adalah perbuatan yang mulia namun pasti lebih berat untuk mempraktekkannya daripada hanya sekadar mengatakannya. Memaafkan kadang hanya sekadar lip service yang sama sekali tidak ada fungsinya. Dan kata ‘kamu dimaafkan’ juga akan terasa sangat sulit untuk diucapkan. Setuju tidak?
Aku akan bercerita sedikit pengalaman pribadi aku yang berkaitan dengan Memaafkan dan Dimaafkan.
Nah, pada acara tahun baru yang baru lewat, aku berencana menghabiskan malam yang berbahagia itu bersama sang pacar. Nah, kami segera bertolak dari rumahku menuju rumahnya yang notabenenya selalu ramai dengan abang dan juga pacarnya. Aku pikir malam itu akan dijalani dengan biasa-biasa saja. Beberapa saat kemudian dia ditelepon oleh temannya yang mengatakan bahwa teman-temannya akan datang ke rumahnya untuk mengadakan barbeque di rumahnya dan meminta izin bahwa itu boleh dilakukan di rumahnya. Secara, memang hanya rumah pacar saya lah yang mendukung untuk mengadakan acara seperti itu. Mereka setuju dan terjadinya.
Beberapa saat kemudiaan, segerombolan teman-temannya datang dengan membawa seperangkat alat dan menu barbeque yang diperlukan. Semua berjalan biasa-biasa saja. Aku masih duduk dalam rumah dan menonton televisi bersama abang, calon kakak ipar, dan sepasang teman abangnya yang juga datang untuk meramaikan suasana. Wow, malam itu terasa sangat ramai. Di luar halaman ramai, di dalam rumah juga ramai. Aku masih menikmati menonton TV. Walaupun beberapa teman pacar, yang hadir saat itu, aku kenal tapi aku sangat malas untuk campur dan heboh-hebohan yang lebay bersama mereka. Intinya aku berpikir selama acara belum mulai ngapain aku ikut-ikutan basi-basi yang tidak penting?
Aku sama sekali tidak berniat memposisikan aku sebagai orang asing saat itu. Teman-teman yang mengenal aku terus mengajak aku untuk gabung ngobrol bersama mereka. Aku menolak mereka secara halus dengan mengatakan bahwa aku akan ikut gabung dengan mereka jika acara sudah mulai dan akhirnya mereka mengerti. Tapi yang tidak disangka-sangka pacar aku nyelutuk begini, “Wah, Feranoka kamu seksi banget malam ini. Emang kamu mau kemana? Calana kamu itu loh pendek benar.” Yang diikuti siulan dari teman-temannya yang jadi turut mengoda si-gadis. Si-gadis pun tersipu malu lalu cepat-cepat menutupi kakinya dengan tangan.
Oke, aku yang coba kaji lebih dalam kata-kata pacar aku barusan, sebenarnya itu tidak salah diucapkan seorang laki-laki normal kayak pacarku. Tapi, menjadi salah karena ada aku di situ. Tidak sepantasnya dia mengucapkan kata-kata seperti itu pada gadis yang bernama Feranoka karena secara itu dapat menyinggung perasaan aku (tolong beri komentar jika aku salah dengan statement ini).
Aku berang dia memuji wanita lain di depanku apalagi itu menyinggung soal bentuk tubuh. Aku berani taruhan siapa pun yang mendengarnya akan menilai itu sungguh bukan suatu komentar bercanda yang berkelas. Itu sama saja menghina aku secara terang-terangan yang secara aku duduk di dalam dan ketika pacarku mengatakan itu dia berada di halaman rumah.
Oke it’s so fine… aku masih bisa mengontrol emosi aku dan aku cukup terhibur dengan sungguhan film yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi saat itu. Party must go on.
Masih belum beranjak dari tempat dudukku beberapa menit berselang dan Feranoka pun masuk ke dalam mengajakku basa-basi lalu mengajakku keluar. Aku masih bertahan dan menolaknya halus. Aku merasa aku tidak salah melakukan itu, memang benar aku mengenal Feranoka dan kami pernah sekelas waktu SMP dulu namun kami sudah tidak pernah bertemu selama kurang lebih 7 tahun. Bisa dibayangin tidak bagaimana kakunya aku ketika berjumpa dengan dia walaupun aku sama sekali tidak berniat demikian. Aku kembali menegaskan bahwa aku akan gabung bersama mereka jika memang acara benar-benar telah dimulai.
Feranoka cukup mengerti aku namun celutukan pacarku yang berikut ini sangat mngerahkan aku, “Sudah lah…. Dia memang sangat tertutup punya orangnya. Tidak mau bergaul punya sama orang.” Dan Feranoka hanya bisa berkomentar segan, “Tidak apa-apa kalau dia memang tidak mau gabung. Mungkin dia mau nonton dulu.”
What’s maksud lo? Cukup! Kesabaran aku telah habis. Pacar aku sendiri sungguh menjatuhkan martabat aku (beri komentar juga kalau perasaan aku berlebihan). Apakah aku salah besar kalau memang tidak gabung bersama temannya? (beri komentar objektif atas pertanyaan aku).
Aku kecewa dengan sikap pacar aku. Benar-benar kecewa. Meski aku sudah berusaha untuk tidak menjadi orang asing di situ tapi aku malah menampakkan diri aku memang terasingkan di sana.
Baik lah demi menjaga agar suasana tetap happy, aku mengalah. Aku dengan sikap dewasa keluar menjumpai teman-temannya yang lagi berusaha membuat api buat panggangan. Baru segini doang? Ya ampun, suruh aku gabung cuman buat liatin teman-teman cowoknya yang mencoba untuk meyalakan api di arang. Tidak penting banget kan?(beri komentar utuk urusan yang aku anggap tidak penting ini).
Akhirnya aku duduk sambil basa-basi dengan teman-yang aku semasa SMP-sambil sesekali melihat keberhasilan tim cowoknya membuat api unggun.
Aku yang memang sudah tidak mood mengikuti acara dengan ogah-ogahan. Yang cewek pada sibuk nyiapin bumbu dan menu. Aku bete banget. Aku minta pacar aku untuk mengantarkan aku pulang saja. Secara juga, pacar aku tidak memperhatikan aku di situ. Dia lebih sibuk ikut-ikutan, yang alasannya karena dia adalah tuan rumah (baik lah mohon komentar kalian kalau aku salah mengerutu tentang ini). Dari rumahnya sampai perjalanan pulang ke rumahku, sama sekali aku malas berbicara dengannya.
Semakin dipikir-pikir aku semakin berang. ‘Aku tidak bisa memaafkan dia’, ucapku dalam hati. Dia sangat membuat hatiku sakit. Aku tiba-tiba benci sekali padanya.
Baik lah hari ini tiba lah juga. Tanggal 3, aku berulang tahun. Pagi-pagi aku mengecek hape, begitu banyak SMS ucapan selamat ultha masuk. Namun, tidak ada satu pun dari dia. Siangnya dia datang membawa sebungkusan kue ulang tahun. Aku haru sesaat dia membawa itu dan mengucapkan ulang tahun. Thanks a lot.
Aku jadi kepikiran untuk membawa masalah kemarin-kemarin ke tingkat lanjut. Selain dibayang-bayangin rasa sakit hati yang aku fosir terlalu dramatis dan aku juga ingin menuntaskan semua masalah dengan dia. Aku pengen dengar penjelasan dari dia secara hati ke hati. Aku juga pengin sekali melampiaskan emosi ini padanya. Aku ingin dia tau bahwa maaf saja tidak cukup dan aku ingin dia bisa insaf dan menyadari bahwa setiap orang punya kesensitifan yang berbeda-beda. ‘Bagi kamu itu cuman bercanda tapi tidak bagi aku. Coba kamu berada di posisi aku. Di depan banyak orang aku menghina kamu, bagaimana perasaan kamu?’ begitu lah kira-kira cuplikan pengantar pertengkaran kami.
Tidak tau apakah memang aku merasa berlebihan dengan kesensitifan aku atau apa aku sama sekali tidak bisa terima semua penjelasannya dan terus menyalahkan dirinya. Aku ingin dia tau bahwa dia telah salah mengajakku gabung bersama temannya dan finally aku hanya hadir di sana untuk dihina. Pertengkaran jadi alot kayak ban ketika masing-masing sama sekali tidak mau kalah ketika beragumen. Nada-nada balasan yang semakin tinggi dan semakin menghiasi dinding kamar yang terbuat dari tripleks. Bisa dibayangkan dong kalau ini terjadi di rumah susun. Ya, kayak di sinetron-sinetron gitu para ibu-ibu mengintip dari jendela rumahnya untuk melihat siapa gerangan suami-istri yang sedang bertengkar?
Ini menjadi kacau ketika masalah semakin merembet dan merembet ke segala penjuru mata angin. Semua borok keluar lah sudah. Cukup disayangkan sih, kenapa berkali-kali selalu saja masa lalu yang harus dijadikan senjata untuk membunuhku? Selalu saja ‘rasa sakit hati karena pengkhianatan’ itu yang menjadi satu-satunya senjata ampuh untuk melumpuhkan aku. Aku mengakuinya dan sangat sadar akan kesalahan aku itu. Tapi bukannya ketika aku dan dia berniat memperbaiki semuanya kami sudah berjanji bahwa semua yang berhubungan dengan masa lalu tidak boleh diungkit lagi.
Seperti yang aku bilang di awal ternyata memafkan kadang hanya lip service buat meluntuhkan hati kita. Memaafkan hanya akan lebih mudah ketika diucapkan daripada dipraktekkan. Dan sialnya semua itu benar.
Aku makin emosi dan pengen mengakhiri semuanya. Secara, bagi aku ini sudah keterlaluan. Pertama, aku merasa sudah dikhianti. Kedua, aku merasa dihina. Ketiga, aku merasa pacar aku sudah melakukan wan prestasi terhadap persetujuan kita dulu. Dan tau apa keputusanku….
Aku tidak sadar, setan mana yang memberanikan tanganku untuk mengayun dan mendarat di pipinya. Yang aku sadari saat itu bahwa dia pantas menerimanya. Terlepas dari apa kata orang-orang tentang apa yang telah aku perbuat, aku puas banget! Aku tiba-tiba merasa plong. Dan aku sama sekali tidak mikir apa akibat dari perbuatanku. Memang, efeknya tidak kecil. Sesaat setelah aku menamparnya, dia memegangi pipinya sambil menanggis dan mengatakan aku wanita yang judes dan terlalu keras. Aku telah berani menamparnya walaupun secara aku belum pasti menjadi calon istrinya. Ya, dia perlu tau memang ini lah titik batas kesabaran orang. Kadang seseorang akan melalukan sesuatu hal yang tidak diduga ketika batas kesabarannya telah dicabik-cabik oleh suatu emosi.(kalau memang aku salah dan komentar orang lebih banyak mengatakan bahwa aku kurang cerdas dan emosional, terpaksa aku memang harus berkonsultasi dengan Bapak Jacob Esra).
Dia berdiri dan memang sih tidak melakukan apapun tapi selanjutnya dengan masih menanggis dia mengatakan, “PUTUS!!!!”
Itu lah akhir segalanya. Dia melamparkan sejumlah uang yang pernah kita tabung bersama dan uang-uang itu bertaburan di wajahku. Dan akhirnya dia pulang dengan bermacam-macam perasaan. Sedangkan aku hanya bisa terduduk lemas dan menyadari semua telah sia-sia.
(terima kasih mau memberi komentar mendalam atas pertanyaan-pertayaan di atas. Semua nama dan kondisi hanya rekayasa belaka dan maaf jika ada kesamaan nama, tempat, tanggal, cerita yang ada. Semua hanya fiktif belaka.)
Selasa, Februari 03, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar