Mutiara duduk di samping Ipang, teman sekompleks sekaligus teman sekolahnya, dibangku lapangan basket yang sudah sepi.
“Woi, melamun aja…. Belum mau pulang?” sapa Mutiara yang datang-datang langsung menepuk bahu Ipang.
“Belum. Tunggu si-Tina, sekalian antarin dia pulang. Tapi, selalu begini deh sengaja lama-lama di kelas.” Ipang menunjukkan muka yang suntuk. Mutiara tidak berani menebak Ipang sudah menunggu berapa lama di situ.
“Kok tidak kamu susul saja ke kelasnya? Lupa mungkin,” hibur Mutiara.
“Tina minta aku tunggu di sini nanti kalau aku nyusul ke sana dia malah judesin aku,” kata Ipang lemah tidak berdaya.
Mutiara bergerutu dalam hati. Apa begini rasanya pacaran? Kayaknya dunia tidak jadi lebih baik deh? Yang ada malah tersiksa. Tidak boleh ini lah-tidak boleh itu lah. mesti gini, mesti gitu. Dunia terasa sempit karena hanya berisi dua karakter yang terus bergelut mencari makna cinta. Huff, Mutiara hanya dapat membuang nafasnya panjang.
Ipang rupanya terganggu dengan nafas Mutiara yang panjang, dia menoleh sesaat lalu mengacak-acak rambutnya sendiri.
Mata Mutiara memperhatikan dengan seksama perubahan sikap Ipang. Semenjak dekat dan pacaran dengan Tina, Ipang lebih mudah sensitive, tidak sabaran, emosian. Kenapa cinta mampu mengubah putih jadi hitam? Atau mengubah yang lembut jadi keras dan sebaliknya?
“Sudah lah. ditunggu bentar aja lagi. Kalau tidak juga ke mari, kita pulang.”
“Baik lah.”
***
Beberapa menit kemudian,
Tina akhirnya muncul bersama segerombolan teman sekelasnya.
“Pang, sorri lama. Teman-temanku ini loh pada minta pulang bareng. Boleh tidak numpangin mobil kamu?” Tanya Tina dengan suara memelas.
Tina menarik lengkungan senyumnya yang mirip senyum bidadari. Kekecewaan Ipang cair sudah… terbang bersama semilir angin yang berhembus entah kemana?
Mutiara tiba-tiba sewot. Ini mau minta pulang bareng atau ngerepotin? Tentunya Mutiara hanya bisa sewot dalam hati karena Ipang pun mangut-mangut saja. Menerima tanpa komentar.
Sial! Mutiara mulai kesal sama namanya, ‘Cinta’.
***
Ketika sampai di pelantaran parkir, mobil Ipang langsung diserbu oleh pasukan si-Tina. Ipang dan Mutiara hanya bisa terbengong ketika melihat Honda Jazz warna biru metalik di hadapan mereka sudah penuh dan hanya menyisakan 2 tempat duduk di depan. Itu tentu tersisa untuk Ipang dan Tina.
Apa Tina sengaja? Emang aku mau di kemana kan? Masa diikat kayak koper di atas? Ya, nggak mungkin lah…
“Ehm, Mutiara sori banget nih tidak muat. Apa kamu mau ikut sesak-sesakan sama teman aku?” Tanya Tina dengan muka tidak berdosa. Matanya yang bulat mengkilat seketika membius Mutiara untuk tidak menuntut lebih kepada Ipang.
Aku hanya melihat ke dalam mobil dengan putus asa lalu membesarkan diri, “Pang, aku pulang sendiri aja. Nanti malam jangan lupa ke rumahku. Bawa tuh DVD Twilight yang kamu janji pinjamkan buatku.”
Ipang mengangguk-angguk, tidak berani banyak bicara, lalu Tina mengamitnya tanpa ampun. Ngelendat-ngelendot mesra di tangan Ipang membuat Ipang risih dilihat teman-teman Tina.
Mutiara tersenyum kecut lalu angkat kaki dari sana.
Tiba-tiba Tina berubah galak, “maunya apa sih si-Mutiara itu? Sudah tau kamu pacaran sama aku masih tetap aja numpangin kamu.”
“Bukan numpang, Tin, cuman sekalian jalan. Toh, komplek rumah kami sama, dekat lagi. Tidak ada masalah dong,” jawab Ipang mencoba menenangkan bidadarinya yang ngambek.
“Awalnya tidak masalah tapi lama-lama aku jadi kesal,” kata Tina judes. Dia masuk ke mobil setelah mengentakkan kaki kuat-kuat. Ipang sulit mengerti apa yang sedang dikhawatirkan oleh Tina.
Tina memang manja, possesif, dan bersifat kekanak-kanakan. Tetapi bagi Ipang, Tina tetap sosok Barbie imut yang menjelma jadi manusia. Sempurna. Dan untuk menjadikan Tina sebagai pacarnya, telah banyak pengorbanan yang dilakukan Ipang.
***
“Hallo, Nak Mutiara,” sapa seorang ibu di seberang telepon.
“Iya Tante Uni. Ada apa?” Tanya Mutiara sopan.
“Kalian lagi ada di mana? Kok belum sampai rumah? Ada apa?” Tanya Tante Uni, mamanya Ipang, dengan nada cemas.
“Ehm, Mutiara hari ini pulang sendiri. Mutiara sih sudah ada di rumah. Emang Ipang belum, Tante?” Tanya Mutiara juga dengan nada cemas.
“Belum. Makanya Tante heran jam segini biasanya Ipang kan lagi main ke rumah Mutiara. Muti tau tadi Ipang pulang sama siapa?”
“Ehm….” Mutiara takut kalau dia bicara jujur nanti Ipang yang akan kena marah.
“Tidak tau soalnya tadi Mutiara pulangnya buru-buru.”
“Oh gitu? Baik lah Tante coba hubungi ke hapenya lagi. Makasih ya Muti,” kata Tante Uni sambil menyelesaikan pembicaraan.
Mutiara gelisah. Hape Ipang blank, di luar jangkauan. Mutiara kembali melihat ke hapenya, pukul 20.30 wib. Oke, tadi siang aku terima, kamu sudah cuekkin aku. Malam ini kamu bahkan lupa janji kamu. lagi, dan lagi.
****
“Mut, ke kantin yuk.”
“Pergi aja sendiri. Aku mau di sini aja sambil baca-baca buku. Katanya akan ada kuis les berikutnya.”
Mutiara hanya beralasan supaya dia dapat menghindari Ipang.
“Ye, nambek yah? Udah kayak kambing aja.”
“Pang, tinggalin aku!” sentak Mutiara kesal.
“Lho, Muti ada apa sih?”
Mutiara keluar kelas sambil membawa buku catatannya. Dia duduk agak jauh dari kelas, berharap Ipang tidak dapat menyusulnya dan bertanya lagi ada apa dengannya saat ini?
***
“Bagaimana nih, Pang…? Aku hamil.”
Ini berita bagai petir di siang bolong.
“Bagaimana bisa hamil Tin? Kan kita selalu pakai pengaman? Apa kamu tidak salah?”
“Aku sudah telat 2 bulan. Tadi aku coba beli test pack dan hasilnya positif, Pang.”
“Ach, sial!” Ipang meninju dinding kamar.
“Tolong, Pang kasih tau aku, aku harus bagaimana?”
“Aku sendiri aja tidak tau mesti gimana sekarang?”
“Tapi, ini anak kamu, Pang. Kamu mesti tanggung jawab.”
“Lho, aku dan kamu melakukan itu selalu pakai pengaman dan aku selalu menjaga agar tidak buang dalam rahim kamu tentu saat ini aku tidak bisa menerima berita kalau kamu hamil.”
“Jadi maksud kamu aku ada maen sama laki-laki lain lalu memintamu bertanggung jawab? Aku tidak selicik itu, Pang. Ini memang anak kamu!” teriak Tina memecah kesunyian kamar Tina siang itu.
“Tapi, sekarang aku tidak bisa memastikan anak siapa itu?” kata Ipang mencoba membela diri.
“Brengsek kamu, Pang. Asal kamu tau… sebelum aku melakukan hubungan itu sama kamu aku benar-benar masih gadis. Aku kira aku telah menyerahkan keperawanan aku kepada orang yang tepat dan benar-benar mencintai aku tapi ternyata kamu tidak ada bedanya dengan bajingan!” teriak Tina sambil memukul badan Ipang.
“Aku bajingan? Lalu kenapa dengan mudahnya kamu mau menyerahkan keperawanan kamu? Tidak kah itu begitu murah bagi kamu?”
“Sudah cukup, Pang! Aku tidak ingin berdebat lebih panjang sama kamu. Aku hanya minta kamu tanggungjawab!” miris Tina mengiba.
“Aku belum siap, Tina. Keluarga aku tidak akan bisa terima kalau aku bilang aku telah tidur denganmu dan saat ini kamu hamil anakku.”
“Bagimanapun kamu harus mencari caranya, Pang. Apa kamu harus tunggu sampai kandunganku besar dulu baru kamu ngomong sama orang tua kamu?”
“Aku tidak siap, Tina… Kamu minum saja jamu. Aku akan membawa kamu pergi ke tukang jamu sekarang. Kita gugurkan selagi bisa.”
“Pang, tolong kamu berpikir dengan hati nurani kamu. Tega kah kamu membuangnya dari rahim aku?”
“Tentu kita harus tega, demi masa depan kita!”
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Kamu tidak bisa dan mau menyerah begini? Lalu apa yang mesti kamu katakan pada orang tuamu?”
“Aku tidak tau…”
“Ikutin saranku.”
“Tidak!”
“Terserah!”
****
Beberapa minggu kemudian,
Ipang dan Tina bertemu di Mall siang ini untuk membicarakan kembali rencana menggugurkan janin di perut Tina.
“Aku telah berpikir dan juga tidak bisa menemukan caranya. Jikalau aku ada di posisi kamu aku pun tidak akan tega membunuh janin itu. Tapi, ini sungguh di luar dugaan kita. Dia tercipta tapi kita tidak menginginkan kehadirannya.”
“Lalu kamu suruh aku buang dia? Dia tercipta karena dosa kita berdua lalu kamu minta aku membunuhnya sebagai pelampiasan? Aku tidak mau buat dosa untuk kedua kalinya.”
“Tapi, apakah kamu sadar bahwa mempertahankannya juga masalah bagi kita?”
“Aku tidak perduli. Sesaat setelah aku tau aku hamil aku harus siap dengan segala resiko yang ada termasuk dikeluarkan dari sekolah atau diusir oleh orang tuaku.”
Ipang menutup mukanya dengan tangan lalu berpikir dengan sangat keras.
“Kamu memang wanita yang terkuat yang pernah aku jumpai. Baik lah, aku yang telah berbuat aku juga lah yang harus bertanggungjawab.”
“Aku akan membicarakan semua ini sama orang tuaku dan all be okay,” kata Ipang mengelus tangan Tina.
Tina hanya tersenyum kecil diperlakukan begitu.
***
“Dasar anak kurang ajar! Masih sekolah kelas 2 SMA aja kamu sudah menghamili anak orang!” histeris Mama Uni mendengar kabar bahwa Tina hamil.
“Malu, Pang…! Selama ini Mama percaya sama kamu tapi begini kamu mengkhianati Mama. Terlalu berani kamu!”
“Mau kamu kasih makan apa dia?” Tanya Mama Uni dengan bola mata yang hampir melompat keluar.
“Tidak akan segampang yang kamu kira. Membina rumah tangga di usia sedini kalian. Mau mama jelaskan bagaimana sama Papa nanti?”
“Ma, tolong jangan kasih tau Papa.”
“Lalu kamu mau suruh Mama gimana?”
“Ipang khilaf, Ma.”
“Jangan mudah bilang khilaf. Kamu sudah buat satu kesalahan besar dan dengan mudahnya kamu bilang khilaf. Malu, Mama benar-benar malu punya anak kayak kamu!”
Tangan Mama ringan melayang ke pipi Ipang.
“Pang, kamu harus tanggung jawab.”
“Tapi,” Ipang menatap Mama dengan wajah mengharap.
“Tidak ada tapi-tapi. Besok kamu dan Mama akan ke rumah Tina dan melamarnya.”
“Ipang masih ingin sekolah.”
“Masih kepikiran sekolah kah kamu sejak kamu mulai pacaran sama Tina? Masih bisa kamu ingat sekolah sedangkan kamu berani mengecap apa yang belum saatnya kamu rasakan?”
“Ipang tidak mau menikah.”
“Astaga, jadi mau kamu apa?”
“Ipang mau minta Tina gugurkan saja anak itu lagipula itu belum tentu anak Ipang.”
“Mama tidak setuju! Kamu keterlaluan, kamu tidak bisa menyuruh Tina begitu. Itu membahayakan, Pang. Bisa-bisa nyawa Tina pun terancam karena dokter yang menangani pengguguran itu tidak berpengalaman. Bukan anakmu, lalu Tina buat sama lagi? Jangan sembarangan bicara kamu, Pang!”
“Setidaknya setelah digugurkan semua akan berjalan normal kembali.”
“Bunuh saja Mama…. Mama sedih kalau dengar anak Mama sekarang jadi begini!”
“Berani kamu berbuat, harus lah kamu berani juga mempertanggungjawabkannya.”
Ipang tertunduk.
****
“Mutiara…,” sapa Tina saat berjumpa dengan Mutiara di halaman sekolah saat mau masuk sekolah.
“Ya,” jawab Mutiara pendek. Ada apa nih pagi-pagi sudah jumpain aku?, pikir Mutiara.
“Maaf, aku bisa bicara empat mata sama kamu?”
“Penting yah?” Tanya Mutiara rada cuek.
“Iya.”
“Sekarang?” Tanya Mutiara lagi sok jual mahal.
“Iya.”
“Di sana aja, aku butuh ketenangan untuk bicara.”
Bicara empat mata, penting, dan ketenangan. Tiga clue yang rada aneh dan hati Mutiara mulai tidak tenang.
Mutiara mengikuti langkah Tina. Sesampainya mereka di tempat yang dimaksud, Tina segera mempersilahkan Mutiara duduk.
Tanpa membuang waktu lebih banyak Mutiara bertanya duluan, “ada apa, Tina?”
“Aku mohon kamu bujuk Ipang untuk…untuk…” ragu-ragu Tina menjelaskan.
“Untuk apa?”
“Bertanggungjawab atas anak ini,” kata Tina sambil menunjuk perutnya.
“Maksud kamu, Tina?”
“Aku hamil anaknya dan usia kehamilanku sudah jalan 1 bulan.”
Mutiara seakan-akan tercekik seketika.
“Ipang minta aku menggugurkan anak ini. Tapi, aku takut… kamu lihat sendiri kan berita akhir-akhir ini. Sungguh menakutkan, sudah banyak yang meninggal gara-gara menggugurkan kandungannya di bidan tidak berizin.”
Mata Tina mulai berair.
“Apa tidak ada cara lain, Tina?”
“Itu dia. Aku juga tidak mau buat dosa lagi. Aku hanya mau menebus dosa-dosa aku dengan melahirkan anak ini lalu membesarkannya.”
“Tapi, sekolah kalian bagaimana? Keluarga kalian?” tanyaku seakan-akan tidak memperdulikan perasaan Tina yang kacau balau.
“Aku tidak peduli. Setelah aku melahirkan mungkin aku bisa mendaftar lagi di sekolah lain. Keluargaku pasti bisa mengerti asal Ipang mau tanggungjawab. Tapi, keluarga Ipang aku tidak tau. Aku bahkan tidak tau rumah Ipang dimana?”
“Lalu, kamu mau aku bantu kamu apa?” tanyaku berat.
“Bantu pertemukan aku dengan orang tuanya. Bila aku tidak dapat kepastian tanggungjawab dari Ipang, aku harap mendapatkannya dari orang tuanya. Dan aku mesti menjelaskan semuanya sebelum usia kandungan aku makin besar dan Ipang tidak mau mengakuinya.”
“Tidak mungkin Ipang tidak mau mengakui janin dalam kandungan kamu anaknya. Kan kamu hanya melakukan itu sama dia.”
“Iya. Tapi, Ipang menolaknya.”
“Tina, aku turut prihatin kalau Ipang begitu. Mungkin dia belum siap menerima kabar ini, tapi percaya lah kalau dia pasti juga memikirkan masa depan kalian.”
“Mutiara kamu bisa bantu aku kan?”
“Tentu. Tentu kamu harus mendapatkan keadilan yang seharusnya kamu dapat.”
“Terima kasih, Muti.”
“Itu lah gunanya teman. Ada saat kamu butuhkan dan selalu menemani di setiap keadaan apapun.”
“Bila dulu aku iri dengan kedekatan kamu dan Ipang aku minta maaf.”
“Tenang aja. Ipang an sudah membuktikan kalau wanita yang dia pilih itu, kamu. Kamu dan dia kan telah menyatu menjadi satu darah dalam perut kamu ini.”
“Muti kamu benar-benar begitu dewasa. Pantas saja Ipang selalu menasehati aku supaya banyak belajar dari kamu.”
“Baik lah, sekarang kayaknya sudah saatnya masuk kelas deh.”
“Bagaimana dengan rencana kita bertemu dengan orang tuanya Ipang.”
“Pulang sekolah nanti aku antar kamu ke rumah Ipang.”
Tina mengangguk-angguk.
****
“Tante Uni…”
“Iya, Nak Muti masuk saja…”
“Iya.”
“Tante, maaf Mutiara bawa temen Ipang dan Mutiara,” kata Mutiara saat menjumpai Tante Uni di dapur.
“Siapa yah?” Tanya Tante Uni sambil menunjukkan raut muka aneh.
“Saya Tina.”
“Astaga. Kamu rupanya. Ngapain datang ke mari?”
“Saya mau jelasin semuanya.”
“Jelasin apa lagi? Semua sudah dijelasin sama Ipang.”
“Lalu bagaimana, Tante?” Tanya Tina rendah.
“Bagaimana apanya?”
“Ipangnya sendiri bagaimana, Tante? Apa sudah mau bertanggungjawab?”
“Kita bicarakan di ruang tamu saja.”
“Jadi begini Nak Tina. Walaupun sebenarnya Tante sangat kecewa dengan perbuatan kalian berdua tapi Tante tetap izinkan kalian menikah demi kejelasan status anak yang kamu kandung. Tante akan berusaha menjelaskan pada papa Ipang lalu kami akan segera merencakan pernikahan kalian.”
“Syukur lah Tante soalnya perut Tina semakin hari pasti semakin besar. Setidaknya dengan menikah sesegera mungkin akan menutupi aib ini.”
“Nak Tina tenang saja. Setelah melahirkan Tina masih boleh sekolah dan melanjutkan masa depan Tina.”
“Makasih, Tante..”
****
“Menikahkan Ipang?” Tanya Papa dengan mata membulat. Bangkit dari ranjang lalu berpindah ke sofa yang menghadap televisi. Tangan Papa meraih remote lalu menghidupkan televisi.
“Iya, Pa.” Mama mendekati Papa.
“Kenapa tiba-tiba, Ma? Bukannya Ipang masih kelas dua?”
“Tapi, Ipang sudah pacaran lama dan katanya sudah cinta sekali sama Tina.”
“Lalu? Mereka rencana menikah? Pasti ada alasan lain, tidak mungkin mereka tiba-tiba punya pikiran menikah sedangkan mereka baru kelas dua.”
“Pa, Ipang serius lho waktu bilang sama Mama.”
“Serius bagaimana? Uang saja belum bisa dia cari sendiri kok. Mau nikah pake uang siapa? Begitu saja kok Mama tanggapin?”
“Pa, coba deh kasih jalan daripada mereka buat yang tidak-tidak di luar mendingan kita nikahkan saja.”
“Selama Mama belum bisa kasih Papa alasan yang jelas kenapa Ipang tiba-tiba mau nikah sama Tina.”
“Ehm, Papa mau penjelasan yang gimana?”
“Ya, kamu sebagai istri harus jujur sama suami. Masa kamu mesti tutup-tutupi sesuatu sama suami kamu sendiri.”
“Janji kamu jangan bunuh anakmu kalau kamu tau yang sebenarnya. Aku tau emosi kamu.”
“Aku tau cara mengendalikannya sekarang,” kilah Papanya Ipang.
“Anakmu telah menghamili Ipang. Tadi Tina datang ke mari sama Mutiara minta pertanggungjawaban Ipang, sedangkan anakmu sudah dua hari tidak masuk sekolah supaya tidak bertemu Tina yang terus-menerus meminta pertanggungjawaban.”
“Astaga, Ma… kenapa hal sebesar ini tidak langsung kamu komunikasikan sama Papa? Kenapa?”
“Aku takut kamu akan menghukum anakmu atau malah membunuhnya karena kesalahannya.”
“Tapi, membiarkan dia lari dari tanggungjawab juga bukan perbuatan yang baik kan, Ma?”
“Mama bukannya tidak mau menceriatakan pada Papa segera cuman Mama tidak sanggup menceritakan ini.”
“Seharusnya kamu menceritakan sesegera mungkin, masalah apapun yang terjadi di rumah ini. Aku bisa membantumu mencari solusi.”
“Menurut Papa, seharusnya kita bagaimana?”
“Ya, tidak ada cara lain. Nikahkan mereka.”
“Ipang tampaknya tidak siap.”
“Bagaimana kamu ini? Kamu yang sarankan menikahkan mereka tapi kamu bilang Ipang belum siap sebenarnya anak itu maunya gimana?”
“Dia minta Tina menggugurkan kandungannya lagipula baru berumur 1 minggu.”
“Astaga, Ma… Sejak kapan kamu jadi punya pikiran selicik itu? Ingat itu dosa, membunuh janin yang tidak berdosa. Dia sudah menjadi makhluk hidup sejak dibentuk.”
“Siapa bilang Mama setuju? Kasihan anak orang. Kalau selamat, kalau tidak? Gimana tanggungjawab lagi sama orangtuanya?”
“Ya sudah. Besok mau tidak mau Ipang harus ikut kita ke rumah Tina, segera kita melakukan pertemuan keluarga dan segera atur pernikahan mereka.”
“Iya.”
****
Ipang meminta izin dan maaf ke orangtuannya karena perbuatannya saat ini orang tuanya harus menanggung semua biaya pernikahannya dan biaya hidupnya bersama Tina.
“Ipang, kekecewaan Papa mudah-mudahan bisa kamu tebus dengan usaha kamu membina rumah tanggamu dengan baik.”
“Papa, Ipang janji akan menjadi kepala rumah tangga yang baik. Ipang akan belajar mencari uang sendiri, menghidupi sendiri rumah tangga Ipang.”
“Bagus, Nak.”
****
“Muti, kamu datang ya ke pesta pernikahan kami berdua,” kata Ipang dan Tina yang mengantarkan undangan ke rumahnya.
“Pasti dong, Sob. Aku bantu jadi penerima tamunya yah.”
“Wah, terima kasih banget kalau kamu mau.”
“Kan rumah kamu dekat sama aku malu dong kalau tidak bantu apa-apa.”
“Iya. Sekali lagi makasih ya…”
Pesan buat teman-teman : Jangan pernah mencoba yang namanya seks jika memang belum siap. Siap di sini maksudnya siap mental dan siap materi. Karena ada kehidupan setelah hari ini yang mesti dipikirkan. Ada begitu banyak lika-liku kehidupan yang tidak dapat ditebak yang dapat terjadi esok. Jangan pernah terlena dengan kenikmatan sementara yang akan berujung penyesalan seumur hidup. Kita tidak dapat memutar waktu dan tidak dapat memperbaiki kesalahan lagi, sekali terjadi seumur hidup akan menjadi noda hitam di cacatan hidup kita. Apapun cerita enaknya, seberat apapun tantangan dan seberat apapun godaannya…. Kita harus tetap mempertahankan yang namanya harga diri… jangan pernah menyerahkan keperawanan kepada laki-laki yang belum punya status kuat, seperti suami. Karena seberapa cinta pun dia saat pacaran itu akan menjadi nonsen saat dia sudah mendapatkan apa yang menjadi milikmu yang berharga itu. yang mau sharing-sharing silahkan saja di email SilviaPinny@yahoo.com atau kunjungi blog aku di Pinkpinnysspecialblog.blogspot.com.
Cerita apa aja, Tanya apa aja atau komentar apa aja masih dipersilahkan dan belum dipunggut biaya sepeser pun. Hehehe… Thanks….
Rabu, April 01, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar