Suara hentakan kaki dengan irama teratur terdengar menyatu dengan gemerincing dari gelang tangan yang dipakai perempuan yang sedang berjalan di antara lorong-lorong gedung. Perkuliahan sudah dimulai dan ini adalah kesekian kalinya dia terlambat. Dosen yang sama, waktu yang sama dan alasan yang sama.
Ketika hampir sampai di ruang kelas, dirasakan darahnya berdesir cepat dari ujung kepala ke ujung kaki. Temannya segera memberi kode agar perempuan itu masuk ketika melihat perempuan itu masih berdiri kaku disamping pintu.
Perempuan itu mundur selangkah, menarik badan lalu duduk di bangku kayu panjang di samping pintu masuk. Dia menolak ide yang diberikan temannya. Pikirannya terbayang akan kejadian minggu lalu dimana dia ditegur oleh dosen itu karena alasan yang sama.
Perempuan itu sesekali mengintip ke dalam kelas. Ruangan sudah penuh, keluhnya.
Tiba-tiba dari dalam kelas terdengar teguran kepada temannya yang tidak konsentrasi mengikuti perkuliahan yang diberikan-tentu saja hal itu-semakin menciutkan nyalinya.
Perempuan itu berdiri, hendak mengintip lagi nasib temannya, namun tanpa disadari sekarang dosen itu malah ada dihadapannya.
“Kamu tau jam berapa ini?” tanya dosen itu keras.
“Kalau memang tidak mau masuk kelas saya, saya harap kamu tidak mengganggu teman yang lain yang sedang mengikuti perkuliahan yang saya berikan. Mengerti?” tanyanya kembali.
“Mengerti, Pak,” jawab perempuan itu sambil tertunduk. Malu sekali.
Dosen itu kembali ke dalam kelas dan setiap pasang mata menatap perempuan itu prihatin. Tapi, itu tidak berlangsung lama karena semenit kemudian dosen itu sudah kembali sibuk dengan materi perkuliahan.
Perempuan itu menyingkir, dia berjalan lemas ke kantin. Dia duduk di bangku lipat sambil memperhatikan sekitar yang sepi. Beberapa saat kemudian sebuah pesan singkat masuk ke hapenya,.
Cinta, lain kali cuekin saja dosen pemarah itu. Aku jadi malas ngikutin pelajarannya. Ternyata dia tidak sesempurna yang kita bayangkan. Dia kasar dan pemarah.
Perempuan itu tersenyum. Dia tahu pesan pendek itu dikirim oleh siapa. Reina tentunya, sobat yang yang dikenalnya sejak masa orientasi kuliah. Walaupun, Reina suka ganti-ganti nomor Hape tapi Cinta tetap bisa mengenali
Cinta menggigit bibir tipisnya.
“Hai,” sapa seorang cowok yang entah darimana asalnya? Dia tiba-tiba muncul dan sekarang sudah berada tepat di hadapan Cinta sambil menyodorkan minuman kaleng.
Cinta melihat ke wajahnya sebentar lalu cuek, membiarkan tangan kekar itu terus terjulur.
“Kenalin namaku Tandri. Sendirian aja? Ambil dong minuman ini, aku sengaja belikan untuk kamu,” katanya.
Cinta meraihnya ragu-ragu, “iya. Makasih.”
“Boleh tidak aku duduk sini?” tanyanya sambil menunjuk ke bangku yang ada di sebelah Cinta. Cinta hanya menanggapi dengan dingin. Tanpa menunggu lebih lama cowok itu langsung duduk bersebelahan dengan Cinta.
“Bolos yah?” tanyanya kembali seperti tidak kapok dicuekkin.
“Kamu fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi semester 6
Jangan bilang dia pun tau namaku, pikir Cinta.
“Cinta Friska Wulandari
Cinta hanya membalasnya dengan senyuman kecut.
“Aku Tandri. Mahasiswa hukum semester 8. senang berkenalan dengan kamu.,” katanya sambil menyerahkan tangan untuk disalami.
Mata Tandri yang teduh menyeret beribu-ribu adrenalin dari kaki untuk singgah tepat di jantungnya. Dan tanpa sadar otak Cinta tidak berkompromi dan malah memerintahkan agar tangannya tergerak untuk menerima uluran tangan kekar itu.
“Sekarang jam berapa sih?” tanyanya lagi dan lagi.
“Jam enam lewat,” kata Cinta lalu menyeruput minuman kaleng yang tadi disodorkan.
“Lewat mana, Cin? Lewat Belawan atau Amplas?” banyolnya lalu di tertawa kegirangan, sendiri.
Cinta mendelik ke arahnya, pertanda bahwa tidak ada yang lucu. Tapi, Tandri malah senyum lagi lalu berkata dengan santainya, “Kamu tipe serius atau stress mikirin tadi tidak dikasih masuk kelas?”
Kenapa cowok ini tau semua tentang diriku? Lama-lama nyebelin juga, sergah Cinta dalam hati.
Cinta mulai tidak tahan. “Satu-satunya yang aku minta sama kamu sekarang adalah jangan ganggu aku!” sentak Cinta.
Tandri hanya membalas dengan senyum (yah, lagi) dan dengan santai berdiri, “maaf yah kalau merasa terganggu. Aku cuman niat menghibur, kalau memang kamu menganggap aku pengganggu, ya aku akan pergi.”
Sebelum berlalu Tandri menatap mata Cinta lalu berkata, “aku sudah rekam senyum kamu tadi disini.” Tandri menunjuk ke dada bidangnya lalu berjalan lambat pergi.
Cinta terperangah melihat kepergian cowok tadi. Dia merasa bersalah karena telah bicara kasar sama orang baru dikenalnya itu.
***
Bel berbunyi tanda perkuliahan jam pertama sudah selesai. Reina menghambur keluar, ditariknya Eko mengikutinya.
“Mau kemana, Rei? Aku mau ke kamar mandi dulu!” teriak Eko yang memberontak ditarik begitu.
“Ke kantin. Nolak ditaktir?” Tanya Reina. Reina berhenti lalu melepaskan pegangan tangannya sambil berkata, “bilang aja.”
“Iya. Iya. Mau,” kata Eko pasrah sambil menyodorkan tangannya untuk ditarik.
“Lalu?” Tanya Reina cuek. “Ayo!” seru Eko.
Ketika sudah sampai kantin bukannya mencari tempat duduk lalu memesan makanan eh malah celingak-celinguk berdua.
“Rei, itu kosong,” kata Eko menunjuk ke bangku sudut.
“Cinta kemana yah?” Tanya Reina pelan.
“Udah pulang mungkin,” kata Eko menuntun Reina duduk di bangku yang dimaksud.
Reina mangut-mangut mengikuti langkah Eko.
“Katanya mau ke kamar mandi,
Eko nyengir dibilangin begitu. Dia mengikuti perintah Reina. Reina mengambil Hape dari dalam tas lalu memencet nomor Cinta.
“Eh, aku dipesanin mie kuah pake telur, minumnya Coca-Cola yah,” kata Eko mendikte pesanannya sambil terburu-buru pergi ke kamar mandi. Reina hanya mengangguk-angguk.
“Cinta gimana sih? Punya Hape kok tidak pernah angkat telepon orang,” omel Reina.
Beberapa saat kemudian Eko balik dari kamar mandi lalu menepuk bahu Reina sambil berkata, “masih cari Cinta yah?”
“Eh, tuh tangan dicuci tidak? Pegang-pegang. Ih.., jorok!” Reina menatap jijik ke temannya. Eko makin menjadi. Eko menempelkan tangan kanannya ke hidung Reina lalu berkata, “cium sendiri.”
Eko tertawa puas. Reina hanya marah-marah.
***
Pelajaran kedua,
Cinta duduk agak ke tenggah. Binder yang ditentengnya kini ditaruhnya di pangkuan.
Beberapa saat kemudian Reina dan Eko pun sudah masuk kelas. Reina sontak lari ke arah Cinta dan mengamitnya tanpa ampun. Eko hanya mengikuti dari belakang lalu memilih duduk di depan 2 orang cewek manis itu.
“Darimana saja sih?” tanya Reina semangat.
“Penting yah?” Cinta tanya balik.
“Ya. Iyalah. Aku kira kamu frustasi berat karena dosen sinting itu,” katanya.
“Aku bertemu dengan orang yang lebih sinting di kantin,” kata Cinta pelan.
“Kapan?” Tanya Reina histeris. Dahi Eko mengkerut, berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh 2 orang cewek manis dibelakangnya.
“Sesaat setelah aku duduk di kantin,” lanjut Cinta.
“Astaga, Cin… nasib kamu itu jelek terus. Kok seharian ini asyik ketemu sama orang tidak beres,” komentar Eko, mendongak ke belakang.
“Iya, sama kek kamu,” ejek Cinta.
“Aku? Tidak beres? Masa iya? Berarti, kalian juga tidak beres mau berkawan sama aku,” balas Eko bikin keki.
“Hush. Hush. Hush. Eko diam dulu,” paksa Reina kepada Eko.
“Iya. Iya,” kata Eko. Dia memang sangat menjaga perasaan Reina. Hehehe…, bukan apa-apa selain Reina adalah kawannya yang palin royal tapi juga karena Reina teman seperjuangannya selama SMA.
“Seperti apa sih orangnya? Sesinting apa? Cerita dong…,” paksa Reina kepada Cinta.
“Aku memang tidak respek sama dia tapi dia asyik nanya ini-itu. Yang gilanya, dia tau identitas aku secara lengkap,” cerita Cinta.
“Ach, bagus dong kamu punya penganggum rahasian yang sinting,” ejek Reina lalu tertawa.
“I don’t care,” balas Cinta tenang.
“I like Karè,” timpal Eko ikut-ikutan walaupun dengan bahasa Inggris yang pas-pasan tapi tetap PeDe.
Cinta dan Reina pandang-pandangan lalu tertawa bersama.
“Alamak!” seru dua perempuan itu.
“Lho, kenapa kau sebut-sebut saudara si-Aladin?” Tanya Eko garing.
“Garing!” seru lagi dua perempuan itu.
“Emang aku gorengan?” Tanya Eko santai. Hehehe.
Kacian deh kamu, Ko. Punya plesetan kok garing semua,
***
Hape Cinta berbunyi ketika dia asyik di depan computer kantor. File-file di mejanya bertumpukan bersamaan dengan binder-binder berisi kontrak yang harus segera di-follow up olehnya.
Hape terus berbunyi tanpa henti membuat kepalanya tambah pusing. Dia berhenti sejenak dan melihat ke layar Hape, terpampang nama Reina disana.
“Buat apa pagi-pagi begini tuh anak telepon aku?” Gumam Cinta.
“Cinta…..,” suara melengking terdengar sesaat setelah tombol terima di tekan.
“Iya. Slow down, baby,” kata Cinta pelan.
“Kamu sudah tau
“Heh? Masa sih? Aku baru tau dari kamu sekarang. Gimana nih, pekerjaan kantorku masih menumpuk,” hela Cinta kelelahan.
“Permisi bentar kek. Durasi acara paling 2 jam. Pembicarannya Pak Tanadi. Pastinya kalau ikut seminar ini mengantongi nilai minimal B,” jelas Reina.
“Tapi, Rei,” keluh Cinta.
“Aduh, Cinta, jangan kebanyakan tapi-tapian deh. Kamu ingat
“Baiklah. Jam berapa?” jawab Cinta ngalah.
“Jam 1 siang. Tolong on time yah,” Reina mengingatkan.
“Iya,” kata Cinta mengakhiri pembicaraan.
***
“Ta, sini…!” sambut Reina ketika melihat Cinta mucul dari balik pintu.
“Hai,” sambut juga seseorang yang duduk disampingnya. Cinta tadi mengira yang duduk disamping Reina adalah Eko tapi saat ini dia benar-benar tidak dapat mempercayai penglihatannya.
“Lho, kok benggong. Duduk,” perintah Reina kepada Cinta. Setelah duduk Reina berkata lagi, “Nih, Tandri teman SMA aku dulu, sama dengan Eko. Tidak nyangka ketemu dia lagi hari ini padahal kita sudah hampir satu semesteran disini tapi aku baru tau, lho.”
“Oh,” jawab Cinta pendek.
“Salam kenal,” ujar Tandri ramah.
“Salam kenal balik,” kata Cinta cuek.
“Dia ini aslinya orang
“
“Jangan panggil aku begitu, Donal,” balas Reina genit. Mereka kembali tertawa renyah sedangkan Cinta hanya cuek sambil sesekali tersenyum terpaksa.
“Rei, kamu pernah pergi
“Ya belum lah,” jawab Reina.
“Aku merasa beruntung lahir di daerah yang sedemikian indahnya. Di Manado banyak tempat-tempat wisata yang indah. Salah satunya nih, Taman Nasional Bunaken. Letaknya beberapa kilometer dari pesisir pantai Kota Manado.” Tandri jeda sejenak lalu melanjutkan, “Taman Laut Bunaken sudah didaulat termasuk di antara 10 tempat penyelaman terpopuler di dunia. Tempat itu menawarkan penyelaman spektakular hingga kedalaman 100 meter, lengkap dengan pesona terumbu karang indah di dasar laut an air hangat yang menyegarkan. Pokoknya dijamin deh kamu bakal kepikiran jadi ikan dan tinggal di dasar laut untuk selamanya.”
Penjelasan dari Tandri sungguh menarik perhatian Cinta untuk ikut mendengarkan dengan serius.
“Wow, pasti seru. Kalau liburan ajak kami kesana dong, Tan,” komentar Reina.
“Bisa aja. Kalau Cinta mau ikut.”
“Hah? Kenapa aku mesti ikut?” protes Cinta spontan.
Tandri hanya tertawa. Akhirnya dia tau bahwa dari tadi diam-diam Cinta mengikuti ceritanya tentang kampung halaman.
Reina hanya geleng-geleng Tandri tiba-tiba tertawa girang sendirian. Cinta malu hati dibuatnya tapi untung kejadian itu tidak berlangsung lama karena Pak Tanadi segera memasuki ruangan lengkap dengan
***
Setelah acara selesai seperti biasa Reina akan pulang bareng Cinta.
“Cin, si-Tandri suka tuh sama kamu.”
“Tau darimana?”
“Tingkahnya itu beda waktu ketemu kamu. Dia lebih terbuka waktu ada kamu.”
“Ach, biasa saja,” Cinta masih kekeh tidak merasa ada yang salah dengan sikap Tandri tadi.
“Cin, aku yang kenal dia lumayan lama saja belum pernah diceritain tentang kampung halamannya. Dulu, di sekolah dia terkenal anak pendiam.”
“Siapa saja bisa berubah karena waktu. Tidak terkecuali dengan Tandri,
“Apa…. Kamu suka sama dia, Na?” Tanya Cinta hati-hati.
Muka Reina bersemu merah.
***
Sore itu,
“Cinta, ini titipan buat kamu,” kata Ipul sambil menyerahkan satu bungkusan kado buat Cinta membuat Reina maupun Cinta bertatapan.
“Dari siapa, Pul?” Tanya Cinta.
“Anak hukum yang pake kacamata. Adiknya Pak Tanadi yang suka marah-marah sama kamu,” jelas Ipul lalu ikut duduk di bangku panjang depan kelas.
“Siapa?”
Cinta angkat bahu ketika Reina meminta suatu penjelasan.
“Tandri. Ach, suka lambat deh loadingnya,” ejek Ipul.
“Eh, Pul. Beneran Tandri adiknya Pak Tanadi, dosen Akuntansi Perbankan yang….,” Reina mengantung perkataannya.
“Iya. Tapi, saudara tiri. Stttt, ini rahasia kita bertiga lho,” kata Ipul pelan. Ipul kemudian kejebak memberikan informasi kepada dua cewek manis di sampingnya.
“Papanya Tandri kepincut sama mamanya Pak Tanadi yang janda dan dokter terkenal di
“Semenjak papa-mama mereka nikah, si-Tandri yang asli orang
“Ya, ampun, Na… tidak percayaan banget sih kamu sama aku. Tandri sama aku itu satu organisasi, kita sudah sohiban luar-dalam.
“Tapi kamu malah cerita ke kita,” kata Cinta tidak enak telah mendengar Ipul dengan santai menceritakan rahasia yang titipkan Tandri. Bukan apa-apa hal yang rahasia dan menyangkut rumah tangga orang lain tentu tidak enak jika sampai bocor ke orang lain.
Cinta dan Reina memasang wajah datar. Ipul segera sadar dan berkata, “Astaga, maafkan aku Tuhan atas mulutku yang berdosa ini.” Tanpa tunggu lama lagi, Ipul permisi pergi setelah sebelumnya mewanti-wanti agar kami tidak membocorkan rahasia ini kepada yang lain. Kami hanya mengangguk setuju.
Setelah Ipul pergi, Cinta maupun Reina tidak lagi bersuara.
***
“Cin, aku mau bicara.
“Boleh. Silahkan,” kata Cinta. Cinta menawarkan hatinya agar jangan terlalu keras ketika berhadapan dengan Tandri.
Tandri malah senyum dan semangat duduk di sebelah Cinta, “Kado yang aku titipkan sama Ipul sudah diterima?”
“Sudah. Kasihnya cuman untuk aku? Buat Reina mana?” tanya Cinta basa-basi.
“Ehm, Reina mau juga? Kalian tidak sampai berantem
“Coba kamu buka deh apa yang aku kasih sama kamu. Dari situ kamu akan tau maksud aku,” kata Tandri. Cinta hanya menatap lurus ke arah Tandri tapi kemudian mengalihkan pandangannya ketika mata keduanya beradu.
Cinta mengeluarkan kado tersebut dari tas lalu membuka pelan-pelan. Ditemukannya sepasang gantungan kunci lengkap dengan kotak munggil yang indah. Cinta kagum sejenak lalu melihat ke arah Tandri meminta penjelasan.
“Gantungan kuncinya
Cinta cukup terkejut. Dalam hatinya bergetar, hanya saja bayangan Reina terus menganggunya.
“Apa semua tidak terlalu cepat?” tanya Cinta hati-hati.
“Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak berkenan memberikan kesempatan itu,” katanya kecewa.
“Aku benar-benar belum siap,” aku Cinta jujur.
“Tapi, adakah cinta itu untukku?” Tanya Tandri serius.
Cinta tidak berani menyahut, tidak juga berani berkomentar. Dia hanyut dalam beragam persepsi yang muncul bergantian di otaknya.
“Tidak apa. Aku bisa menunggu, Cin,” kata Tandri kemudian.
***
Hari demi hari Cinta dan Tandri semakin dekat tanpa pengetahuan Reina. Tandri dengan sabar menunggu sampai Cinta berniat membukakan hatinya.
***
Siang itu, Reina menarik Cinta ke pinggir lalu berhenti di ruangan kosong. Reina baru bicara setelah dilihatnya sekelilingnya aman, “Aku minta kamu jujur, Cin. Aku tidak mau kamu mengalah untukku. Jika memang kamu juga mencintai Tandri, akan aku relakan dia untukmu. Jika memang bersama kamu itu lebih membahagiakan dia, apa aku dapat memaksanya menerima aku?” Reina terisak dalam pengakuannya. Hati Cinta perih. Tidak bisa dia mendengar pengakuan yang sebegitu tulusnya.
“Kamu tidak salah mencintainya. Tapi, cinta itu yang salah tumbuh di hatiku,” aku Cinta mengerak-gerakkan tangan Reina, memohon maaf.
“Aku mengenalnya lebih lama tapi bolehkah aku cemburu padamu yang baru dikenalnya lalu dicintainya?” tanya Reina sinis.
“Aku tidak tau kapan perasaan itu muncul. Cuman itu sangat menyiksa hatiku. Aku tidak pernah mengharapkan Tandri akan sedemikian cepat mengungkapnya,” kata Cinta.
“Yang aku tau, kita berdua juga tidak sangka semua berlanjut dengan alaminya,” lanjut Cinta.
“Maka dari itu aku tidak menyalahkan kamu. Aku lebih bahagia dia bersama kamu, jika memang iutu yang terbaik,” kata Reina dengan bibir bergetar.
Cinta memeluk Reina dan menungkapkan terima kasih. Kini, perasaanya plong… dia tidak lagi tertekan oleh bayangan Reina.
“Telepon Tandri sekarang, tadi aku sudah ketemu dia dan dia sekarang menunggu kamu di kantin. Jumpai dia dan selesaikan sekarang,” saran Reina sembari memberi semangat.
“Iya,” jawab Cinta singkat. “Terima kasih, Na…”
Reina hanya mengangkat jempolnya. Setelah Cinta pergi Reina bersandar dan pelan-pelan menyeret tubuhnya duduk di lantai. Hatinya hancur berkeping-keping melihat temannya pergi dengan bahagia sedangkan dirinya terduduk tidak berdaya.
Cinta, mengapa harus kamu yang hadir diantara sedemikian panjangnya jalur cerita antara aku dan Tandri? Waktu yang lama ternyata tidak juga menyisakan maaf untukku, Tandri. Aku dulu memang telah pernah menyakiti kamu dengan mengkhianati kamu. Aku memang pernah selingkuh dengan temanmu. Aku pernah membuatmu mati lebih buruk dari yang aku rasakan saat ini. Tapi, itu sudah lewat bertahun-tahun yang lalu. Belum mampu juga kah kamu memberi aku maaf saat ini? Malah saat ini karma itu telah berbalik menimpaku. Tanggis Reina meledak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar