Rabu, Desember 31, 2008

Curhat jutek

Aku tidak tau kenapa berubah jadi jutek begini? Apakah aku sedang mengalami gangguan jiwa? Sebenarnya aku punya sekian banyak masalah yang tidak bisa aku ceritakan sama orang lain. Mulai dari masalah orang tuaku yang miskin dan ayahku yang sakit-sakitan, ibuku yang setiap hari ngomel dan membuatku suntuk bukan main. Belum lagi melihat abangku yang tinggal satu rumah walaupun sudah berumah tangga. Waduh, ternyata membina suatu rumah tangga tidak lah gampang ya? Begitu banyak rintangan yang mungkin saja terjadi. Mulai dari urusan mertua, ururusan suami-istri, belum lagi bagi yang sudah punya anak? Hidup terasa makin kompleks. Itu semua membuat aku takut berumah tangga. Takut seperti abangku yang sekarang ketar-ketir mengurusi rumah tangganya. Tau tidak sih setelah berumah tangga cinta hanya sebuah gantungan asa yang kadang lebih banyak diruntuhkan oleh realita hidup di dunia ini tidak ada yang gratis alias mesti punya duit.

Kejam sekali bukan? Sewaktu masih pacaran, abang-adek sayang… setelah menikah apa? Sama sekali tidak akan mudah memanggil abang atau adek sayang kalau perut tak makan? Betul kagak?

Emang sih aku belum menikah cuman yang aku lihat sudah terlalu banyak jadi seperti sudah tidak berhasrat lagi membina rumah tangga. Lalu mau jadi apa aku? Jadi perawan tua? Perduli amat?

Meski dalam hati yang paling dalam masih aku dambakan seorang laki-laki yang dewasa yang penuh kasih sayang, mapan, mandiri, dari intelek, dari keluarga yang utuh dan bahagia. Istilahnya aku ingin memilih laki-laki yang memang telah teruji bibit, bebet, dan bobotnya. Lalu timbul lagi pertanyaan, apa ada laki-laki yang sedemikian sempurnanya? Lalu aku dengan bijaksana menjawab, setidaknya pasti ada lah yang mendekati yang aku inginkan.

Jujur saja aku telah berkali-kali salah pilih. Sebenarnya ini juga lah yang membuat aku malas berumah tangga. Selain sering gagal dalam percintaan aku juga bukan lah wanita yang sempurna cacat fisik. Sebelah tangganku cekot. Baik lah, itu lah kenyataan pahit yang menjadi dinding pemisah selama aku mau serius menjalani hubungan. Jika ada aku dengar kata-kata yang membesarkan hatiku seperti, ‘pasti selalu ada seseorang yang diciptakan untuk seseorang’, atau ‘jika memang dia sayang sama kamu pasti dia akan menerima kamu apa adanya’ baiklah, jika memang itu benar. Sampai hari ini aku juga belum menemukan sosok yang demikian. Laki-laki masih melihat penampilan itu wajib diperhitungkan untuk mencari calon istri. Kalian tau itu artinya apa? Aku akan menjadi kesekian orang yang harus sabar menunggu jodohku.

Tragis memang. Sebenarnyaseorang sarjana seperti aku tidak boleh hidup dalam kepersimisan. Cuman, memang selalu itu lah yang terlintas di pikiran aku. Aku memang butuh psikolog tapi aku tidak sanggup membayar biaya yang diminta. Apalagi seperti yang tadi aku bilang, tidak ada yang gratis di dunia ini.

Tidak ada komentar: