Cintaku di atas diary kusam dan Pocket diary
Cerpen oleh Silvia Pinny
Diary Maya,
Pernah ngalamin yang namanya nervous saat ketemu orang yang kita suka? Atau tiba-tiba tidak bisa ngomong saat udah ketemu gebetan? Aku sudah mengalaminya beberapa kali, beberapa hari ini. Aku merasa mati kutu pagi itu ketika dia menyapaku duluan di kantor . Ketika itu aku baru mau masuk dan dia mau keluar. Hampir saja kami bertubrukan namun untung hal itu tidak terjadi kalau saja terjadi, ya ampun akau tidak bisa membayangkan bagaimana merahnya mukaku.
Hari ini aku beruntung ketemu dia lagi. Ketika aku cuci tangan di wastafel, eh dia malah keluar dari kamar mandi sambil menanyakan kabar. Gimana jantung aku bermain-main di kecepatan 120 Megabite coba, sekarang orang yang aku taksir menanyakan kabar dengan ramahnya ke aku?
Aku kesenangan dan malu-malu menangapinya. ‘baik’, jawabku. Setelah itu basa-basi pun diteruskan… Obrolan baru terhenti ketika ada staf lain yang hendak masuk kamar mandi. Eh, si-dia langsung nyeloyor pergi. Aku agak kecewa sih dengan sikapnya.
Baiklah mari kita lanjutkan rutinitas kantor yang melelahkan. Setengah hari berlalu aku belum melihatnya ada di dalam ruangannya. Kemana dia? Padahal ada berkas-berkas yang harus ditanda tanganinya segera. Aku menghela nafas sebentar lalu duduk santai di kursi tamu sambil menunggunya kembali.
Beberapa saat kemudian, rombongan tamu dan dia masuk ke ruangan. Huff, kayaknya bakal tidak ada waktu lagi nih membaca berkas-berkas yang telah aku siapkan. Aku membereskan kembali berkas-berkas itu ke dalam map dan mau bersiap-siap balik ke ruangan namun segera saja dia memanggilku. “Sil, hari ini kamu bisa
Agak ragu aku menjawabnya dalam hati aku bertanya, ‘buat apa?’
Dia rupanya cepat tanggap dengan kerutan di wajahku, “Bantu aku mempersiapkan meeting untuk malam ini. Bisa?” katanya.
Aku menelan ludah. Yuks, pahit sekali. Matanya memelas ke aku membuatku luluh seketika. “Baiklah.”
“Thanks. Kamu Bantu aku buat proposal ini dulu. Aku tunggu yah kalau sudah siap,” katanya lalu balik ke ruangan.
“Lembur nih, yeee…,” ejek teman yang lain. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum sinis.
Semua sudah pulang dan aku masih berkutat diantara sekian banyak kertas-kertas yang harus aku baca ulang dan aku analisis agar mendapatkan main point pengajuan proposal. Tubuhku kelelahan maka aku pun putuskan berhenti sesaat. Aku menuju dapur dan membuat secangkir kopi untuk menambah tenaga. Aku menghiruppelan-pelan aroma kopi sambil duduk santai di ruanganku.
Tiba-tiba dia masuk dan langsung mengelus rambutku lalu berkata, “ngantuk yah? Sorry nih ngajak kamu lembur.”
Aku agak terkejut dia sekarang ada di belakangku dan tadi malah berani mengelus rambutku. Seketika adrenaline darahku berdesir cepat dan mulai grogi. Aku cepat-cepat meletakkan cangkir itu dan melanjutkan pengeditan proposal.
“Sudah siap?” tanyanya lagi. “Sudah. Tinggal edit beberapa kalimat saja,” jawabku tanpa melihatnya ke wajahnya.
“Aku tunggu yah. Oh ya, mau dong rasain kopi buatan kamu,” katanya nakal.
Aku hanya tersenyum.
Sesaat kemudian aku kembali bersemangat. Entah ini pengaruh dari kopi atau dari kata-kata yang baru diucapkannya? Entah lah…
“Ko, proposalnya sudah selesai. Aku boleh pulang dulu?” tanyaku sambil menyerahkan map berisi proposal yang tadi ditugaskan kepadaku.
“Kamu tunggu bentar lagi nanti biar aku yang antarin kamu pulang. Ok?” tanyanya menunggu persetujuanku.
“Masih lama tidak, Ko? Soalnya aku masih mau ngajar les sepulang ini,” kataku tegas.
“Ya, setelah presentasi beberapa saat meeting juga akan selesai. Paling lama juga 1 jam lagi. Masih bisa tunggu?” tanyanya lagi tidak kalah menyakinkan aku.
“Ok lah,” jawabku malas-malas.
Waktu berputar lebih cepat. Ternyata presentasi tidak selama yang aku kira. Dia sudah mengemas barang-barangnya berarti sudah waktunya untuk bersiap-siap pulang.
Aku menguap panjang dan tidak dapat menyembunyikan kantuk di mataku. Dia menertawai aku karena lingkar di sekitar mataku hitam membuatku lebih mirip panda daripada seorang wanita cantik di hadapannya. Maklum aku adalah tipe pekerja keras yang bekerja siang dan malam. Siang sebagai pegawai kantoran dan malam sebagai tenaga pengajar les tambahan bagi siswa-siswi Sekolah Dasar. Melelahkan memang apalagi jika perusahaan mengharapkan aku lembur.
Aku hanya bisa ikut menertawai diriku sendiri.
Catatan Ebigo,
Aku adalah anak dari Bapak Jhonson Ansori dan Nyonya Suriati, presiden direktur sebuah pabrik ban nasional yang memiliki beberapa cabang di kota-kota besar seperti Bogor, Padang, Medan, Surabaya, Sidomulyo, dan kota lainnya. Aku dipercayai orang tuaku untuk mengurus pabrik yang ada di
Dulu memang aku sama sekali tidak berhasrat untuk terjun langsung di usaha yang telah ayah bangun ini. Aku ingin maju sendiri di bidang yang aku sukai yaitu Teologia. Aku suka berbagi, aku suka melayani, aku suka mengabarkan injil bukannya berkutat dengan masalah pabrik yang banyaknya minta ampun. Namun, memang semua pasti adalah rencana Tuhan. Semua pasti bergerak atas susunan rencana dari Tuhan. Aku dititipkan ayah untuk ditempa di pabrik ini. Dan, memang itu lah yang diinginkannya. Dia meninggal setahun setelah aku dipercayai mengurus pabrik yang di
Aku memimpin pabrik ini dengan style aku sendiri. Itu makanya aku dekat dengan beberapa staf. Tapi, aku tentu tidak bisa membohongi naluri aku bahwa aku juga butuh pendamping. Di usiaku yang hampir memasuki kepala 3 tentu aku khawatir. Sesuai dengan yang tertulis dalam injil bahwa setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan, aku juga menyakini bahwa Tuhan sudah merencanakan jodohku. Tapi, apa semua itu bisa aku dapatkan jika hari-hariku selalu saja disibukkan oleh pekerjaan melobi dan mencari usaha agar bisnis ini semakin kuat dan dikenal oleh masyarakat?
Tentu Tuhan pun tidak menstujui bahwa jodoh itu hanya ditunggu sampai datang sendiri. Aku bukannya tidak berusaha namun kayaknya memang susah buatku untuk dekat dengan orang lain atau mungkin susah juga buat orang lain mendekatiku dengan alasan gap ekonomi, misalnya.
Aku dulu tertarik pada staf Accountingku yang bernama Lisda. Dia cantik, pintar dan berkepribadiaan menarik. Namun, sayang… terlalu banyak yang mencampuri urusan percintaan kami dengan pekerjaan. Banyak yang mempermasalahkan status pegawai dengan anak bos. Padahal, aku telah beberapa kali meyakinkannya agar jangan mempermasalahkan itu. Toh, aku mencintainya dengan tulus. Di luar dari statusku yang anak bos aku hanya seorang laki-laki biasa. Lama-lama dia terpengaruh juga dengan pembicaraan orang-orang sekitarnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari kantor dan tentunya memutuskan hubungan kita.
Sekarang, aku punya target untuk diriku sendiri bahwa minimal tahun depan itu aku mesti naik pelaminan dengan wanita idamanku. Makanya aku mulai membuka diri untuk sosok wanita. Tidak banyak sih yang menarik perhatiaanku. Namun, ada satu yang aku harap nanti bisa menjadi pengganti Lisda di hatiku. Maya namanya. Usianya memang 10 tahun lebih muda daripada aku. Dia manis, pintar, dan tipe pekerja keras. Sama denganku. Aku suka dengan sikapnya yang dewasa dan sifat keingintahuannya yang besar. Dia sosok yang tepat untuk aku ajak diskusi baik tentang perusahaan bahkan perekonomian dunia. Memang, aku sedang berusaha mengirimkan sinyal-sinyal kuat kepadanya. Aku harap sih, sedikit banyak dapat diterima oleh stasiun penerimanya dengan baik. Hehehe….
Tapi, memang tidak akan mudah baginya dan bagiku untuk menyesuaikan diri. Walaupun secara hati aku mau menerimanya dengan apa adanya namun tetap saja lingkungan ini menyiksaku.
Hah, mudah-mudahan aku segera ketemu dengan seorang penasehat cinta….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar