Senin, April 13, 2009

Salam hangat

Akhir-akhir ini usaha aku mempromosikan blog aku tidak sia-sia. Sekarang jumlah pengunjung ke blog aku sudah bertambah, walaupun tidak signifikan tapi tetap ucapan syukur harus aku hanturan sebesar-besarnya kepada Tuhan. Setiap usaha yang telah aku lakukan dan segenap ide yang telah aku tuangkan ternyata mendapat sambutan positif dari teman-teman sejawat yang ternyata juga suka ngeblog. Thanks bagi yang sudah mampir dan sudah memberi komentar baik di email, FS, maupun media lainnya. Semoga saja saya tetap bisa berkomunikasi dan menjalin tali persahabatan sekalian juga menyalurkan hobi menulis saya.
Maaf kalau misalnya komentar kalian ada yang belum aku baca, maklum sibuk banget eui… ngejar setoran, ngejar target juga (maklum kan saya sudah mau diwisuda akhir September tahun ini jadi harus tetap semangat!), ngejar deadline kantor juga. Hehehehe… padahal cita-cita saya suatu hari nanti saya bisa kerja Freelance saja tapi dibeberapa bidang yang memang sudah jadi impian saya (kayak yang di novel Pacar Alternatif itu lho, si-Pinisi). Kayaknya seru deh, kerja freelance tapi setorannya banyak. Jadwalnya tidak ketat dan yang paling penting kerjaannya benar-benar yang kita sukai.
Bukan aku bilang kerjaan aku tidak enak, hehehhe… mabok juga kalau setiap hari mesti pelototin angka yang tidak jelas ujung pangkalnya terus ngitung siang-malam (cie… segitunya) tapi bukan milik kita. Hehehehe…
Aku suka menulis tapi bukan berarti aku jago nulis, aku suka berbicara tapi tidak berarti aku cocok jadi penyiar. Hehehe… kira-kira aku cocoknya jadi apa yah?
Nah, yang lagi pengen curhat soal pekerjaannya, atau ada informasi tentang lowongan pekerjaan (untuk saya tentunya), silahkan akses blog aku di Pinkpinnysspecialblog.blogspot.com atau email SilviaPinny@yahoo.com yang selalu on buat kalian. Terima kasih…

Hati-hati, Kali ini sama Dokter. Hah?

ketika dokter indonesia sudah "menjual" hati nuraninya, kemanakah kita bila sakit?


halo rekan-rekan.
..
Ini tulisan yang mungkin 'aneh', saya sebagai seorang dokter justru meminta rekan-rekan untuk berhati-hati pada dokter. Ini mengikuti tulisan Pak Irwan Julianto di Kompas 4 Maret 2009 lalu, yaitu mengenai 'caveat venditor' (produsen/penyedia jasa berhati-hatilah) .

Ceritanya begini, beberapa hari ini saya mengurusi abang saya yang sakit demam berdarah (DBD). Saya buatkan surat pengantar untuk dirawat inap di salah satu RS swasta yang terkenal cukup baik pelayanannya. Sejak masuk UGD saya temani sampai masuk ke kamar perawatan & tiap hari saya tunggui, jadi sangat saya tau perkembangan kondisinya.

Abang saya paksa dirawat inap karena trombositnya 82 ribu, agak mengkuatirkan, padahal dia menolak karena merasa diri sudah sehat, nggak demam, nggak mual, hanya merasa badannya agak lemas. Mulai di UGD sudah 'mencurigakan' , karena saya nggak menyatakan bahwa saya dokter pada petugas di RS, jadi saya bisa dengar berbagai keterangan/penjelas an & pertanyaan dari dokter & perawat yang menurut saya 'menggelikan' . Pasien pun diperiksa ulang darahnya, ini masih bisa saya terima, hasil trombositnya tetap sama, 82 ribu.

Ketika Abang akan di-EKG, dia sudah mulai 'ribut' karena Desember lalu baru tes EKG dengan treadmill dengan hasil sangat baik. Lalu saya tenangkan bahwa itu prosedur di RS. Yang buat saya heran adalah Abang harus disuntik obat Ranitidin (obat untuk penyakit lambung), padahal dia nggak sakit lambung, & nggak mengeluh perih sama sekali. Obat ini disuntikkan ketika saya ke mengantarkan sampel darah ke lab.

Oleh dokter jaga diberi resep untuk dibeli, diresepkan untuk 3 hari padahal besok paginya dokter penyakit dalam akan berkunjung & biasanya obatnya pasti ganti lagi. Belum lagi resepnya pun isinya nggak tepat untuk DBD. Jadi resep nggak saya beli. Dokter penyakit dalamnya setelah saya tanya ke teman yang praktik di RS tersebut dipilihkan yang dia rekomendasikan, katanya 'bagus & pintar', ditambah lagi dia dokter tetap di RS tersebut, jadi pagi-sore selalu ada di RS.

Malamnya via telepon dokter penyakit dalam beri instruksi periksa lab macam-macam, setelah saya lihat banyak yang 'nggak nyambung', jadi saya minta Abang untuk hanya setujui sebagian yang masih rasional.

Besoknya, saya datang agak siang, dokter penyakit dalam sudah visite & nggak komentar apapun soal pemeriksaan lab yang ditolak. Saya diminta perawat untuk menebus resep ke apotek. Saya lihat resepnya, saya langsung bingung, di resep tertulis obat Ondansetron suntik, obat mual/muntah untuk orang yang sakit kanker & menjalani kemoterapi. Padahal Abang nggak mual apalagi muntah sama sekali. Tertulis juga Ranitidin suntik, yang nggak perlu karena Abang nggak sakit lambung. Bahkan parasetamol bermerek pun diresepkan lagi padahal Abang sudah ngomong kalau dia sudah punya banyak.

Saya sampai cek di internet apa ada protokol baru penanganan DBD yang saya lewatkan atau kegunaan baru dari Ondansetron, ternyata nggak. Akhirnya saya hanya beli suplemen vitamin aja dari resep.

Pas saya serahkan obatnya ke perawat, dia tanya 'obat suntiknya mana?', saya jawab bahwa pasien nggak setuju diberi obat-obat itu. Perawatnya malah seperti menantang, akhirnya dengan terpaksa saya beritau bahwa saya dokter & saya yang merujuk pasien ke RS, Abang menolak obat-obat itu setelah tanya pada saya. Malah saya dipanggil ke nurse station & diminta tandatangani surat refusal consent (penolakan pengobatan) oleh kepala perawat.

Saya beritau saja bahwa pasien 100% sadar, jadi harus pasien yang tandatangani, itu pun setelah dijelaskan oleh dokternya langsung. Sementara dokter saat visite nggak jelaskan apapun mengenai obat-obat yang dia berikan.. Saya tinggalkan kepala perawat tersebut yang 'bengong'.

Saat saya tunggu Abang, pasien di sebelah ranjangnya ternyata sakit DBD juga. Ternyata dia sudah diresepkan 5 botol antibiotik infus yang mahal & sudah 2 dipakai, padahal kondisi fisik & hasil lab nggak mendukung dia ada infeksi bakteri. Pasien tersebut ditangani oleh dokter penyakit dalam yang lain. Saat dokter penyakit dalam pasien tersebut visite, dia hanya ngomong 'sakit ya?', 'masih panas?', 'ya sudah lanjutkan saja dulu terapinya', visite nggak sampai 3 menit saya hitung.

Besoknya dokter penyakit dalam yang tangani Abang visite kembali & nggak komentar apapun soal penolakan membeli obat yang dia resepkan. Dia hanya ngomong bahwa kalau trombositnya sudah naik maka boleh pulang. Saya jadi membayangkan nggak heran Ponari dkk laris, karena dokter pun ternyata pengobatannya nggak rasional. Kasihan banyak pasien yang terpaksa diracun oleh obat-obat yang nggak diperlukan & dibuat 'miskin' untuk membeli obat-obat yang mahal tersebut. Ini belum termasuk dokter ahli yang sudah 'dibayar' cukup mahal ternyata nggak banyak menjelaskan pada pasien
sementara kadang kala keluarga sengaja berkumpul & menunggu berjam-jam hanya
untuk menunggu dokter visite.

Abang sampai ngomong bahwa apa semua pasien harus ditunggui oleh saudaranya yang dokter supaya nggak dapat pengobatan sembarangan? Abang juga merasa bersyukur nggak jadi diberi berbagai macam obat yang nggak dia perlukan & jadi racun di tubuhnya.

Sebulan lalu pun saya pernah menunggui saudara saya yang lain yang dirawat inap di salah satu RS swasta yang katanya terbaik di salah satu kota kecil Jateng akibat sakit tifoid. Kejadian serupa terjadi pula, sangat banyak obat yang nggak rasional diresepkan oleh dokter penyakit dalamnya.

Kalau ini nggak segera dibereskan, saya nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka lebih memilih pengobatan alternatif atau berobat ke LN. Semoga bisa berguna sebagai pelajaran berharga untuk rekan-rekan semua agar berhati-hati & kritis pada pengobatan dokter.

Kamis, April 09, 2009

Why WE Nedd a Friend

Friend may not be able to pull you up...
But
They Will still think of ways not to let You Fall

Penting nggak sih?

Hari ini aku dapat sebuah nasehat yang menurutku penting nggak penting sih. Nasehat itu bunyinya begini : ada 4 kriteria cowok sempurna yang seharusnya jadi perhatian kita dalam memilih cowok. Keempat criteria itu adalah sebagai berikut :
1. Cowok itu harus bisa membedakan antara seks dan cinta. (Comment : Hehehe.. benar juga sih. Kadang saat kita terjebak dalam situasi romantis kita jadi tidak mampu lagi membedakan antara cinta dan nafsu. Awalnya sih maksudnya pengungkapan cinta tapi akhirnya berubah jadi nafsu yang sia-sia).
2. Cowok itu harus bisa membedakan 3 A yaitu : , harta, tahta, dan wanita. (Comment : yah, kalau tidak mau munafik sih laki-laki zaman sekarang kebanyakan orang beroriented ketiga hal tersebut. Alasannya adalah selama kita masih bisa memilih, kenapa tidak?)
3. Cowok itu harus memmpunyai 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, atau 360 hari dalam setahun untuk kamu. (Comment : kalau dipikir-pikir ini egois banget deh. Menurut aku masa setiap menit, setiap detik kita harus selalu ada di sisi pacar atau suami kita? Kan tidak masuk akal? Ya, bisa-bisa nanti pasangan kita yang bosan gara-gara kita banyak nuntut tentang waktu sama dia yang notabenenya orang sibuk. Ya, tapi kalau memang maksud dari pengungkapan itu adalah waktunya itu hanya untuk mencintai kita itu lebih baik).
4. Laki-laki itu harus berani dan mau berkomitmen. (Comment : Nah, yang ini aku setuju banget. Tau kenapa? Karena salah satu tanda laki-laki itu serius dalam menjalani hubungan dengan kita adalah keberaniannya membuat komitmen dan berupaya dengan segenap cara untuk mewujudkan komitmen yang telah dibuatnya tersebut. Dan komitment itu mengambarkan kedewasaan berpikir seorang laki-laki terhadap masa depan hubungan yang hendak dibangun, dan dengan adanya komitmen maka jelas menunjukkan kesiapannya untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekedar hanya pacaran).
Bagi yang penegn memberikan komentar lain atau menangapi komentar yang aku berikan silahkan mampir diblog aku di Pinkpinnysspecialblog.blogspot.com atau email aja ke SilviaPinny@yahoo.com
Medan, 08 April 2009

Minggu, April 05, 2009

Hati-hati!

Tertipu produk dari Deverse, Medan fair lt. 1

Kejadian ini baru saya alami tadi siang di Plaza Medan Fair. Siang tadi saya jalan-jalan bersama teman sekantor saya, makan bersama lalu belanja. Ketika acara selesai, saya pamit pulang dan kebetulan saya kebelet buang air kecil maka saya mencari kamar mandi terdekat. Saya singgah di ATM terdekat untuk menarik uang sebanyak Rp. 1.500.000,- (satu setengah juta rupiah) untuk pegang-pegang hari esok setelah itu baru ke kamar mandi. Karena kamar mandi lt. 3 ramai sekali dan saya sudah tidak tahan lagi maka saya mencari kamar mandi yang di lt. 1. Sesaat setelah keluar dari kamar mandi saya bertemu dengan seorang SPG yang langsung memberikan saya sekotak bungkusan kado, yang saya sendiri tidak tahu apa isi di dalamnya. Dia memberikan kado itu sambil mengajak saya masuk ke dalam tokonya untuk membantunya mengisi formulir data diri (katanya sebagai tanda bukti kepada atasannya bahwa bungkusan kado itu memang diberikan kepada customer).
Saya masuk dan dipersilahkan duduk dengan ramah. Awalnya saya memang hanya diminta untuk mengisi data di formulir yang tersedia dan SPG itu menjelaskan bahwa toko mereka sedang melakukan promosi dan saya diberikan hadiah secara cuma-cuma. Setelah saya mengisi data lalu SPG tersebut kembali menawarkan saya hadiah lainnya yaitu menarik undian yang telah disediakan secara cuma-cuma. Saya diberikan 5 pilihan kertas dan saya diminta untuk menarik salah satunya. Saya pun mengikuti permintaanya. Saya menarik 1 pilihan kertas lalu saya diminta untuk membukanya (saya masih belum mengerti jalur penipuan yang dilakukan), saya kembali mengikuti permintaan si-SPG. Dan dengan terkejutnya saya dibuat mereka bahwa saya mendapatkan 3 logo gambar hadiah sekaligus yang terdiri dari penyegar ruangan, dispenser air, dan pelangsing tenaga listrik yang katanya bernilai total Rp. 11.750.000,-. SPG-SPG yang lain langsung memberikan selamat kepada saya dan menyalami saya dengan ceria. Mereka terus memuji keberuntungan saya dan meminta saya meneraktir mereka jika hadiah memang benar-benar seperti logo yang tercantum di kertas undian yang tadi saya buka akan menjadi milik saya. Salah satu SPG mengatakan pada saya bahwa dia harus mengecek dulu ke pusat apakah benar nomor seri undian yang tadi saya buka itu benar adanya. Saya diminta menunggu sesaat sambil ditemani ngobrol oleh SPG yang lain. Di situ hati saya sudah tidak enak karena SPG yang lain terus-terus mengajak ngobrol tentang privacy keuangan saya misalnya: saya menabung di bank mana dan berapa point yang saya miliki atau jenis handphone dan rumah yang saya miliki. Ketika saya bertanya kenapa dia bertanya demikian alasanya karena toko Deverse bekerjasama dengan merchant VISA dan Mastercard dengan keuntungan dimana siapa pemegang kartu yang bekerjasama dengan kedua mercant tersebut akan mendapatkan kemudahan dimana pajak hadiah yang saya terima nanti akan ditanggung oleh bank-bank yang bekerjasama dengan kedua merchant tersebut.
Setelah beberapa saat kemudian SPG yang tadi kembali dan menyalami saya kembali sambil berkata bahwa saya memang sangat beruntung dan benar bahwa ketiga jenis hadiah yang tertera pada logo memang benar boleh saya bawa pulang. Saya diminta memberikan KTP lalu dia mengisi formulir lain. Dia terus menyakinkan saya bahwa sudah banyak yang menang, dia pun memperlihatkan kepada saya foto-foto pemenang yang dimaksud beserta faktur penerimaan barang yang dimaksud.
SPG itu menjelaskan bahwa saya terpilih menjadi duta Deverse dan mereka akan segera melakukan launcing produk di SUN Plaza bulan Juni nanti. Nah, anehnya SPG itu mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang tadi tertera di undian hanya dapat diambil pada saat launcing produk di SUN Plaza Juni nanti. Saya juga boleh menukarkan hadiah yang peroleh dengan produk lain yang totalnya sama. SPG itu menawarkan saya bermacam-macam produk lalu saya berpikir bahwa hadiah yang dapat itu susah untuk dijual karena tidak begitu banyak orang yang butuh lalu saya terpikir untuk menukarnya dengan handphone Nokia E91 dan lemari es. Ngomong-punya-ngomong saya kemudian di minta menyerahkan uang Rp. 1.000.000,- sebagai tanda jadi dan uang tersebut akan dikembalikan kepada saya pada saat launcing produk nanti dan sebagai gantinya pada saat launcing saya harus membeli minimal satu jenis produk Deverse apa saja lalu sisa uang akan dikembalikan utuh. Saya bilang saya tidak punya uang, tapi mereka tidak percaya. Mereka minta saya menarik uang dahulu di ATM. Saya bilang saya bisa pergi sendiri tapi anehnya SPG-nya meminta temannya ikut menemani saya mengambil uang di ATM. Saya menolah dong dan mengatakan bahwa saya tidak terbiasa mengambil uang dengan ditemani orang yang tidak saya kenal sebelumnya. Lalu mereka berusaha maklum sambil mencari cara lain utnuk membujuk saya. Mereka menanyakan apakah saya memiliki uang cash atau saya mau kartu ATM saya digesek di dalam toko itu saja. Saya kembali menolak dan mengatakan saya tidak memiliki uang cash sebanyak itu. SPG it uterus merayu saya sambil terus menjelaskan kelebihan saya jika memakai produk Deverse, seperti misalnya saya akan menadapatkan kesempatan untuk diundi kembali dan akan diberangkatkan di Bali dan Batam yang mana semua akomodasi seperti tiket dan semacamnya ditanggung, uang belanja setiap bulan Rp. 500.000,- dan lainnya. Akhirnya saya kembali diminta menandatangani formulir yang sama sekali saya tidak diberiathukan jelas apa fungsinya dan saya seperti terhipnotis dan saya mau saya. Saya kembali diminta memikirkan kembali kesempatan emas ini dan lagi-lagi saya terbius dengan mulut manis si SPG dan saya pun memberikan uang sebesar Rp. 1.000.000,- dan setengah sadar saya masih bertanya bila saya mau batal gimana? SPG yang lain bilang, ‘oh nanti saya Tanya kembali kepada pusat, gimana?’ sambil berlalu membawa uang Rp. 1.000.000,- saya ke satu ruangan kecil yang lain. Saya lalu diajak ngobrol oleh SPG yang tadi menarik saya masuk lalu saya mulai sadar akan kebodohan saya ketika saya memperhatikan dengan detail hadiah barang yang saya terima. Kalau menurut perhitungan saya, total hadiah jika dirupiahkan tidak sebesar daripada yang tadi dijelaskan oleh SPG itu. Saya pun berontak dan minta uang saya kembali. SPG itu panic lalu mencari temannya untuk meminta tolong membujuk saya. Saya tetap ngotot tidak mau bernegosiasi dan mendengar penjelas mereka lagi dan tetap mau uang satu juta saya kembali, utuh titik. SPG-SPG itu heran kenapa saya berubah pikiran lalu membujuk saya kembali. Pembicaraan berlangsung alot dan panas, SPG yang lain sengaja memasang musik keras supaya customer lain tidak mendengar bahwa saya sudah merasa tertipu. SPG itu pamit untuk menelepon pusat dan menanyakan gimana kalau customer batal dan mau berhenti. Saya menunggu beberapa menit lalu saya mendapat kabar bahwa saya tidak dapat menarik uang saya karena saya telah meneken kontrak. Saya kontan marah karena sejak awal saya tidak dijelaskan tentang formulir yang saya tandatangani tadi adalah kontrak dan saya pun tidak dijelaskan apa sanksi jika saya membatalkan kontrak yang mereka maksud. Saya ngotot dan marah-marah. “Saya tidak mau tau, yang saya mau uang saya kembali dengan utuh,” begitu kata saya dengan nada tinggi. ‘Kesal sekali saya ditipu,’ kata saya dalam hati. Mereka kembali mencoba mencari jalan keluar lain. Mereka kembali menelepon pusat lalu memberikan alternative lain yang sama tidak enaknya, uang saya hanya akan kembali 50% (Rp. 500.000,-) dan sisanya dalam bentuk barang. Ini sama saja saya rugi. “Saya tidak mau. Saya tidak eprlu barang saya mau uang saya,” kata saya naik tensi. Mereka pun ngotot tidak bisa dengan alasan saya telah meneken kontrak. Karena melihat saya jerit-jerit dan mengganggu SPG lain dalam menarik mangsa baru, maka mereka kembali menelepon pusat dan saya memaksa untuk bicara dengan orang pusat yang dimaksud. Awalnya saya ngomong baik-baik namun tidak juga mendapatkan jawaban yang memuaskan, malah saya diminta datang ke kantor mereka yang ada di jalan Timor 147 Medan utnuk bertemu dengan manajernya. Saya bersikukuh tidak mau menemui siapa-siapa dan tidak ada urusan dengan manajer tapi saat ini saya hanya minta uang saya kembali. Tapi akhirnya saya tidak mendapatkan apa yang saya mau karena jika saya menolah alternative kedua yang dia tawarkan saya malah tidak akan mendapatkan apapun. Jadi akhirnya saya hanya bisa menelan ludah melihat uang saya kembali Rp. 500.000,- sisanya saya menenteng pulang produk Deverse yang tadi dijanjikan yaitu belender merk U-Rolux. Saya menyesal telah mau mengikuti si-SPG dan saya menyesal sekali telah menyerahkan uang Rp. 1.000.000,- saya kepada mereka. Dan saya pesankan kepada pengunjung Plaza Medan Fair lainnya agar berhati-hati dengan penipuan yang akhir-akhir ini marak terjadi. Walaupun si SPG bilang ini bukan penipuan dan saya dapat dituntut karena telah mencemarkan nama baik mereka tapi saya kembalikan kepada pembaca surat kabar, Analisa. Silahkan pembaca kaji dan nilai sendiri apakah mereka termasuk telah melakukan penipuan atau tidak. Saya terima kalau pihak Deverse mau menuntut saya melalui jalur hukum karena saya merasa benar dan malah kehilanggan uang Rp. 500.000,- dan harus menerima secara paksa barang yang tidak sesuai dengan hadiah yang saya terima saat pengundian.

Rabu, April 01, 2009

Cinta atau nafsu?

Mutiara duduk di samping Ipang, teman sekompleks sekaligus teman sekolahnya, dibangku lapangan basket yang sudah sepi.
“Woi, melamun aja…. Belum mau pulang?” sapa Mutiara yang datang-datang langsung menepuk bahu Ipang.
“Belum. Tunggu si-Tina, sekalian antarin dia pulang. Tapi, selalu begini deh sengaja lama-lama di kelas.” Ipang menunjukkan muka yang suntuk. Mutiara tidak berani menebak Ipang sudah menunggu berapa lama di situ.
“Kok tidak kamu susul saja ke kelasnya? Lupa mungkin,” hibur Mutiara.
“Tina minta aku tunggu di sini nanti kalau aku nyusul ke sana dia malah judesin aku,” kata Ipang lemah tidak berdaya.
Mutiara bergerutu dalam hati. Apa begini rasanya pacaran? Kayaknya dunia tidak jadi lebih baik deh? Yang ada malah tersiksa. Tidak boleh ini lah-tidak boleh itu lah. mesti gini, mesti gitu. Dunia terasa sempit karena hanya berisi dua karakter yang terus bergelut mencari makna cinta. Huff, Mutiara hanya dapat membuang nafasnya panjang.
Ipang rupanya terganggu dengan nafas Mutiara yang panjang, dia menoleh sesaat lalu mengacak-acak rambutnya sendiri.
Mata Mutiara memperhatikan dengan seksama perubahan sikap Ipang. Semenjak dekat dan pacaran dengan Tina, Ipang lebih mudah sensitive, tidak sabaran, emosian. Kenapa cinta mampu mengubah putih jadi hitam? Atau mengubah yang lembut jadi keras dan sebaliknya?
“Sudah lah. ditunggu bentar aja lagi. Kalau tidak juga ke mari, kita pulang.”
“Baik lah.”
***
Beberapa menit kemudian,
Tina akhirnya muncul bersama segerombolan teman sekelasnya.
“Pang, sorri lama. Teman-temanku ini loh pada minta pulang bareng. Boleh tidak numpangin mobil kamu?” Tanya Tina dengan suara memelas.
Tina menarik lengkungan senyumnya yang mirip senyum bidadari. Kekecewaan Ipang cair sudah… terbang bersama semilir angin yang berhembus entah kemana?
Mutiara tiba-tiba sewot. Ini mau minta pulang bareng atau ngerepotin? Tentunya Mutiara hanya bisa sewot dalam hati karena Ipang pun mangut-mangut saja. Menerima tanpa komentar.
Sial! Mutiara mulai kesal sama namanya, ‘Cinta’.
***
Ketika sampai di pelantaran parkir, mobil Ipang langsung diserbu oleh pasukan si-Tina. Ipang dan Mutiara hanya bisa terbengong ketika melihat Honda Jazz warna biru metalik di hadapan mereka sudah penuh dan hanya menyisakan 2 tempat duduk di depan. Itu tentu tersisa untuk Ipang dan Tina.
Apa Tina sengaja? Emang aku mau di kemana kan? Masa diikat kayak koper di atas? Ya, nggak mungkin lah…
“Ehm, Mutiara sori banget nih tidak muat. Apa kamu mau ikut sesak-sesakan sama teman aku?” Tanya Tina dengan muka tidak berdosa. Matanya yang bulat mengkilat seketika membius Mutiara untuk tidak menuntut lebih kepada Ipang.
Aku hanya melihat ke dalam mobil dengan putus asa lalu membesarkan diri, “Pang, aku pulang sendiri aja. Nanti malam jangan lupa ke rumahku. Bawa tuh DVD Twilight yang kamu janji pinjamkan buatku.”
Ipang mengangguk-angguk, tidak berani banyak bicara, lalu Tina mengamitnya tanpa ampun. Ngelendat-ngelendot mesra di tangan Ipang membuat Ipang risih dilihat teman-teman Tina.
Mutiara tersenyum kecut lalu angkat kaki dari sana.
Tiba-tiba Tina berubah galak, “maunya apa sih si-Mutiara itu? Sudah tau kamu pacaran sama aku masih tetap aja numpangin kamu.”
“Bukan numpang, Tin, cuman sekalian jalan. Toh, komplek rumah kami sama, dekat lagi. Tidak ada masalah dong,” jawab Ipang mencoba menenangkan bidadarinya yang ngambek.
“Awalnya tidak masalah tapi lama-lama aku jadi kesal,” kata Tina judes. Dia masuk ke mobil setelah mengentakkan kaki kuat-kuat. Ipang sulit mengerti apa yang sedang dikhawatirkan oleh Tina.
Tina memang manja, possesif, dan bersifat kekanak-kanakan. Tetapi bagi Ipang, Tina tetap sosok Barbie imut yang menjelma jadi manusia. Sempurna. Dan untuk menjadikan Tina sebagai pacarnya, telah banyak pengorbanan yang dilakukan Ipang.
***
“Hallo, Nak Mutiara,” sapa seorang ibu di seberang telepon.
“Iya Tante Uni. Ada apa?” Tanya Mutiara sopan.
“Kalian lagi ada di mana? Kok belum sampai rumah? Ada apa?” Tanya Tante Uni, mamanya Ipang, dengan nada cemas.
“Ehm, Mutiara hari ini pulang sendiri. Mutiara sih sudah ada di rumah. Emang Ipang belum, Tante?” Tanya Mutiara juga dengan nada cemas.
“Belum. Makanya Tante heran jam segini biasanya Ipang kan lagi main ke rumah Mutiara. Muti tau tadi Ipang pulang sama siapa?”
“Ehm….” Mutiara takut kalau dia bicara jujur nanti Ipang yang akan kena marah.
“Tidak tau soalnya tadi Mutiara pulangnya buru-buru.”
“Oh gitu? Baik lah Tante coba hubungi ke hapenya lagi. Makasih ya Muti,” kata Tante Uni sambil menyelesaikan pembicaraan.
Mutiara gelisah. Hape Ipang blank, di luar jangkauan. Mutiara kembali melihat ke hapenya, pukul 20.30 wib. Oke, tadi siang aku terima, kamu sudah cuekkin aku. Malam ini kamu bahkan lupa janji kamu. lagi, dan lagi.
****
“Mut, ke kantin yuk.”
“Pergi aja sendiri. Aku mau di sini aja sambil baca-baca buku. Katanya akan ada kuis les berikutnya.”
Mutiara hanya beralasan supaya dia dapat menghindari Ipang.
“Ye, nambek yah? Udah kayak kambing aja.”
“Pang, tinggalin aku!” sentak Mutiara kesal.
“Lho, Muti ada apa sih?”
Mutiara keluar kelas sambil membawa buku catatannya. Dia duduk agak jauh dari kelas, berharap Ipang tidak dapat menyusulnya dan bertanya lagi ada apa dengannya saat ini?
***
“Bagaimana nih, Pang…? Aku hamil.”
Ini berita bagai petir di siang bolong.
“Bagaimana bisa hamil Tin? Kan kita selalu pakai pengaman? Apa kamu tidak salah?”
“Aku sudah telat 2 bulan. Tadi aku coba beli test pack dan hasilnya positif, Pang.”
“Ach, sial!” Ipang meninju dinding kamar.
“Tolong, Pang kasih tau aku, aku harus bagaimana?”
“Aku sendiri aja tidak tau mesti gimana sekarang?”
“Tapi, ini anak kamu, Pang. Kamu mesti tanggung jawab.”
“Lho, aku dan kamu melakukan itu selalu pakai pengaman dan aku selalu menjaga agar tidak buang dalam rahim kamu tentu saat ini aku tidak bisa menerima berita kalau kamu hamil.”
“Jadi maksud kamu aku ada maen sama laki-laki lain lalu memintamu bertanggung jawab? Aku tidak selicik itu, Pang. Ini memang anak kamu!” teriak Tina memecah kesunyian kamar Tina siang itu.
“Tapi, sekarang aku tidak bisa memastikan anak siapa itu?” kata Ipang mencoba membela diri.
“Brengsek kamu, Pang. Asal kamu tau… sebelum aku melakukan hubungan itu sama kamu aku benar-benar masih gadis. Aku kira aku telah menyerahkan keperawanan aku kepada orang yang tepat dan benar-benar mencintai aku tapi ternyata kamu tidak ada bedanya dengan bajingan!” teriak Tina sambil memukul badan Ipang.
“Aku bajingan? Lalu kenapa dengan mudahnya kamu mau menyerahkan keperawanan kamu? Tidak kah itu begitu murah bagi kamu?”
“Sudah cukup, Pang! Aku tidak ingin berdebat lebih panjang sama kamu. Aku hanya minta kamu tanggungjawab!” miris Tina mengiba.
“Aku belum siap, Tina. Keluarga aku tidak akan bisa terima kalau aku bilang aku telah tidur denganmu dan saat ini kamu hamil anakku.”
“Bagimanapun kamu harus mencari caranya, Pang. Apa kamu harus tunggu sampai kandunganku besar dulu baru kamu ngomong sama orang tua kamu?”
“Aku tidak siap, Tina… Kamu minum saja jamu. Aku akan membawa kamu pergi ke tukang jamu sekarang. Kita gugurkan selagi bisa.”
“Pang, tolong kamu berpikir dengan hati nurani kamu. Tega kah kamu membuangnya dari rahim aku?”
“Tentu kita harus tega, demi masa depan kita!”
“Tapi, aku tidak bisa.”
“Kamu tidak bisa dan mau menyerah begini? Lalu apa yang mesti kamu katakan pada orang tuamu?”
“Aku tidak tau…”
“Ikutin saranku.”
“Tidak!”
“Terserah!”
****
Beberapa minggu kemudian,
Ipang dan Tina bertemu di Mall siang ini untuk membicarakan kembali rencana menggugurkan janin di perut Tina.
“Aku telah berpikir dan juga tidak bisa menemukan caranya. Jikalau aku ada di posisi kamu aku pun tidak akan tega membunuh janin itu. Tapi, ini sungguh di luar dugaan kita. Dia tercipta tapi kita tidak menginginkan kehadirannya.”
“Lalu kamu suruh aku buang dia? Dia tercipta karena dosa kita berdua lalu kamu minta aku membunuhnya sebagai pelampiasan? Aku tidak mau buat dosa untuk kedua kalinya.”
“Tapi, apakah kamu sadar bahwa mempertahankannya juga masalah bagi kita?”
“Aku tidak perduli. Sesaat setelah aku tau aku hamil aku harus siap dengan segala resiko yang ada termasuk dikeluarkan dari sekolah atau diusir oleh orang tuaku.”
Ipang menutup mukanya dengan tangan lalu berpikir dengan sangat keras.
“Kamu memang wanita yang terkuat yang pernah aku jumpai. Baik lah, aku yang telah berbuat aku juga lah yang harus bertanggungjawab.”
“Aku akan membicarakan semua ini sama orang tuaku dan all be okay,” kata Ipang mengelus tangan Tina.
Tina hanya tersenyum kecil diperlakukan begitu.
***
“Dasar anak kurang ajar! Masih sekolah kelas 2 SMA aja kamu sudah menghamili anak orang!” histeris Mama Uni mendengar kabar bahwa Tina hamil.
“Malu, Pang…! Selama ini Mama percaya sama kamu tapi begini kamu mengkhianati Mama. Terlalu berani kamu!”
“Mau kamu kasih makan apa dia?” Tanya Mama Uni dengan bola mata yang hampir melompat keluar.
“Tidak akan segampang yang kamu kira. Membina rumah tangga di usia sedini kalian. Mau mama jelaskan bagaimana sama Papa nanti?”
“Ma, tolong jangan kasih tau Papa.”
“Lalu kamu mau suruh Mama gimana?”
“Ipang khilaf, Ma.”
“Jangan mudah bilang khilaf. Kamu sudah buat satu kesalahan besar dan dengan mudahnya kamu bilang khilaf. Malu, Mama benar-benar malu punya anak kayak kamu!”
Tangan Mama ringan melayang ke pipi Ipang.
“Pang, kamu harus tanggung jawab.”
“Tapi,” Ipang menatap Mama dengan wajah mengharap.
“Tidak ada tapi-tapi. Besok kamu dan Mama akan ke rumah Tina dan melamarnya.”
“Ipang masih ingin sekolah.”
“Masih kepikiran sekolah kah kamu sejak kamu mulai pacaran sama Tina? Masih bisa kamu ingat sekolah sedangkan kamu berani mengecap apa yang belum saatnya kamu rasakan?”
“Ipang tidak mau menikah.”
“Astaga, jadi mau kamu apa?”
“Ipang mau minta Tina gugurkan saja anak itu lagipula itu belum tentu anak Ipang.”
“Mama tidak setuju! Kamu keterlaluan, kamu tidak bisa menyuruh Tina begitu. Itu membahayakan, Pang. Bisa-bisa nyawa Tina pun terancam karena dokter yang menangani pengguguran itu tidak berpengalaman. Bukan anakmu, lalu Tina buat sama lagi? Jangan sembarangan bicara kamu, Pang!”
“Setidaknya setelah digugurkan semua akan berjalan normal kembali.”
“Bunuh saja Mama…. Mama sedih kalau dengar anak Mama sekarang jadi begini!”
“Berani kamu berbuat, harus lah kamu berani juga mempertanggungjawabkannya.”
Ipang tertunduk.
****
“Mutiara…,” sapa Tina saat berjumpa dengan Mutiara di halaman sekolah saat mau masuk sekolah.
“Ya,” jawab Mutiara pendek. Ada apa nih pagi-pagi sudah jumpain aku?, pikir Mutiara.
“Maaf, aku bisa bicara empat mata sama kamu?”
“Penting yah?” Tanya Mutiara rada cuek.
“Iya.”
“Sekarang?” Tanya Mutiara lagi sok jual mahal.
“Iya.”
“Di sana aja, aku butuh ketenangan untuk bicara.”
Bicara empat mata, penting, dan ketenangan. Tiga clue yang rada aneh dan hati Mutiara mulai tidak tenang.
Mutiara mengikuti langkah Tina. Sesampainya mereka di tempat yang dimaksud, Tina segera mempersilahkan Mutiara duduk.
Tanpa membuang waktu lebih banyak Mutiara bertanya duluan, “ada apa, Tina?”
“Aku mohon kamu bujuk Ipang untuk…untuk…” ragu-ragu Tina menjelaskan.
“Untuk apa?”
“Bertanggungjawab atas anak ini,” kata Tina sambil menunjuk perutnya.
“Maksud kamu, Tina?”
“Aku hamil anaknya dan usia kehamilanku sudah jalan 1 bulan.”
Mutiara seakan-akan tercekik seketika.
“Ipang minta aku menggugurkan anak ini. Tapi, aku takut… kamu lihat sendiri kan berita akhir-akhir ini. Sungguh menakutkan, sudah banyak yang meninggal gara-gara menggugurkan kandungannya di bidan tidak berizin.”
Mata Tina mulai berair.
“Apa tidak ada cara lain, Tina?”
“Itu dia. Aku juga tidak mau buat dosa lagi. Aku hanya mau menebus dosa-dosa aku dengan melahirkan anak ini lalu membesarkannya.”
“Tapi, sekolah kalian bagaimana? Keluarga kalian?” tanyaku seakan-akan tidak memperdulikan perasaan Tina yang kacau balau.
“Aku tidak peduli. Setelah aku melahirkan mungkin aku bisa mendaftar lagi di sekolah lain. Keluargaku pasti bisa mengerti asal Ipang mau tanggungjawab. Tapi, keluarga Ipang aku tidak tau. Aku bahkan tidak tau rumah Ipang dimana?”
“Lalu, kamu mau aku bantu kamu apa?” tanyaku berat.
“Bantu pertemukan aku dengan orang tuanya. Bila aku tidak dapat kepastian tanggungjawab dari Ipang, aku harap mendapatkannya dari orang tuanya. Dan aku mesti menjelaskan semuanya sebelum usia kandungan aku makin besar dan Ipang tidak mau mengakuinya.”
“Tidak mungkin Ipang tidak mau mengakui janin dalam kandungan kamu anaknya. Kan kamu hanya melakukan itu sama dia.”
“Iya. Tapi, Ipang menolaknya.”
“Tina, aku turut prihatin kalau Ipang begitu. Mungkin dia belum siap menerima kabar ini, tapi percaya lah kalau dia pasti juga memikirkan masa depan kalian.”
“Mutiara kamu bisa bantu aku kan?”
“Tentu. Tentu kamu harus mendapatkan keadilan yang seharusnya kamu dapat.”
“Terima kasih, Muti.”
“Itu lah gunanya teman. Ada saat kamu butuhkan dan selalu menemani di setiap keadaan apapun.”
“Bila dulu aku iri dengan kedekatan kamu dan Ipang aku minta maaf.”
“Tenang aja. Ipang an sudah membuktikan kalau wanita yang dia pilih itu, kamu. Kamu dan dia kan telah menyatu menjadi satu darah dalam perut kamu ini.”
“Muti kamu benar-benar begitu dewasa. Pantas saja Ipang selalu menasehati aku supaya banyak belajar dari kamu.”
“Baik lah, sekarang kayaknya sudah saatnya masuk kelas deh.”
“Bagaimana dengan rencana kita bertemu dengan orang tuanya Ipang.”
“Pulang sekolah nanti aku antar kamu ke rumah Ipang.”
Tina mengangguk-angguk.
****
“Tante Uni…”
“Iya, Nak Muti masuk saja…”
“Iya.”
“Tante, maaf Mutiara bawa temen Ipang dan Mutiara,” kata Mutiara saat menjumpai Tante Uni di dapur.
“Siapa yah?” Tanya Tante Uni sambil menunjukkan raut muka aneh.
“Saya Tina.”
“Astaga. Kamu rupanya. Ngapain datang ke mari?”
“Saya mau jelasin semuanya.”
“Jelasin apa lagi? Semua sudah dijelasin sama Ipang.”
“Lalu bagaimana, Tante?” Tanya Tina rendah.
“Bagaimana apanya?”
“Ipangnya sendiri bagaimana, Tante? Apa sudah mau bertanggungjawab?”
“Kita bicarakan di ruang tamu saja.”
“Jadi begini Nak Tina. Walaupun sebenarnya Tante sangat kecewa dengan perbuatan kalian berdua tapi Tante tetap izinkan kalian menikah demi kejelasan status anak yang kamu kandung. Tante akan berusaha menjelaskan pada papa Ipang lalu kami akan segera merencakan pernikahan kalian.”
“Syukur lah Tante soalnya perut Tina semakin hari pasti semakin besar. Setidaknya dengan menikah sesegera mungkin akan menutupi aib ini.”
“Nak Tina tenang saja. Setelah melahirkan Tina masih boleh sekolah dan melanjutkan masa depan Tina.”
“Makasih, Tante..”
****
“Menikahkan Ipang?” Tanya Papa dengan mata membulat. Bangkit dari ranjang lalu berpindah ke sofa yang menghadap televisi. Tangan Papa meraih remote lalu menghidupkan televisi.
“Iya, Pa.” Mama mendekati Papa.
“Kenapa tiba-tiba, Ma? Bukannya Ipang masih kelas dua?”
“Tapi, Ipang sudah pacaran lama dan katanya sudah cinta sekali sama Tina.”
“Lalu? Mereka rencana menikah? Pasti ada alasan lain, tidak mungkin mereka tiba-tiba punya pikiran menikah sedangkan mereka baru kelas dua.”
“Pa, Ipang serius lho waktu bilang sama Mama.”
“Serius bagaimana? Uang saja belum bisa dia cari sendiri kok. Mau nikah pake uang siapa? Begitu saja kok Mama tanggapin?”
“Pa, coba deh kasih jalan daripada mereka buat yang tidak-tidak di luar mendingan kita nikahkan saja.”
“Selama Mama belum bisa kasih Papa alasan yang jelas kenapa Ipang tiba-tiba mau nikah sama Tina.”
“Ehm, Papa mau penjelasan yang gimana?”
“Ya, kamu sebagai istri harus jujur sama suami. Masa kamu mesti tutup-tutupi sesuatu sama suami kamu sendiri.”
“Janji kamu jangan bunuh anakmu kalau kamu tau yang sebenarnya. Aku tau emosi kamu.”
“Aku tau cara mengendalikannya sekarang,” kilah Papanya Ipang.
“Anakmu telah menghamili Ipang. Tadi Tina datang ke mari sama Mutiara minta pertanggungjawaban Ipang, sedangkan anakmu sudah dua hari tidak masuk sekolah supaya tidak bertemu Tina yang terus-menerus meminta pertanggungjawaban.”
“Astaga, Ma… kenapa hal sebesar ini tidak langsung kamu komunikasikan sama Papa? Kenapa?”
“Aku takut kamu akan menghukum anakmu atau malah membunuhnya karena kesalahannya.”
“Tapi, membiarkan dia lari dari tanggungjawab juga bukan perbuatan yang baik kan, Ma?”
“Mama bukannya tidak mau menceriatakan pada Papa segera cuman Mama tidak sanggup menceritakan ini.”
“Seharusnya kamu menceritakan sesegera mungkin, masalah apapun yang terjadi di rumah ini. Aku bisa membantumu mencari solusi.”
“Menurut Papa, seharusnya kita bagaimana?”
“Ya, tidak ada cara lain. Nikahkan mereka.”
“Ipang tampaknya tidak siap.”
“Bagaimana kamu ini? Kamu yang sarankan menikahkan mereka tapi kamu bilang Ipang belum siap sebenarnya anak itu maunya gimana?”
“Dia minta Tina menggugurkan kandungannya lagipula baru berumur 1 minggu.”
“Astaga, Ma… Sejak kapan kamu jadi punya pikiran selicik itu? Ingat itu dosa, membunuh janin yang tidak berdosa. Dia sudah menjadi makhluk hidup sejak dibentuk.”
“Siapa bilang Mama setuju? Kasihan anak orang. Kalau selamat, kalau tidak? Gimana tanggungjawab lagi sama orangtuanya?”
“Ya sudah. Besok mau tidak mau Ipang harus ikut kita ke rumah Tina, segera kita melakukan pertemuan keluarga dan segera atur pernikahan mereka.”
“Iya.”
****

Ipang meminta izin dan maaf ke orangtuannya karena perbuatannya saat ini orang tuanya harus menanggung semua biaya pernikahannya dan biaya hidupnya bersama Tina.
“Ipang, kekecewaan Papa mudah-mudahan bisa kamu tebus dengan usaha kamu membina rumah tanggamu dengan baik.”
“Papa, Ipang janji akan menjadi kepala rumah tangga yang baik. Ipang akan belajar mencari uang sendiri, menghidupi sendiri rumah tangga Ipang.”
“Bagus, Nak.”
****

“Muti, kamu datang ya ke pesta pernikahan kami berdua,” kata Ipang dan Tina yang mengantarkan undangan ke rumahnya.
“Pasti dong, Sob. Aku bantu jadi penerima tamunya yah.”
“Wah, terima kasih banget kalau kamu mau.”
“Kan rumah kamu dekat sama aku malu dong kalau tidak bantu apa-apa.”
“Iya. Sekali lagi makasih ya…”
Pesan buat teman-teman : Jangan pernah mencoba yang namanya seks jika memang belum siap. Siap di sini maksudnya siap mental dan siap materi. Karena ada kehidupan setelah hari ini yang mesti dipikirkan. Ada begitu banyak lika-liku kehidupan yang tidak dapat ditebak yang dapat terjadi esok. Jangan pernah terlena dengan kenikmatan sementara yang akan berujung penyesalan seumur hidup. Kita tidak dapat memutar waktu dan tidak dapat memperbaiki kesalahan lagi, sekali terjadi seumur hidup akan menjadi noda hitam di cacatan hidup kita. Apapun cerita enaknya, seberat apapun tantangan dan seberat apapun godaannya…. Kita harus tetap mempertahankan yang namanya harga diri… jangan pernah menyerahkan keperawanan kepada laki-laki yang belum punya status kuat, seperti suami. Karena seberapa cinta pun dia saat pacaran itu akan menjadi nonsen saat dia sudah mendapatkan apa yang menjadi milikmu yang berharga itu. yang mau sharing-sharing silahkan saja di email SilviaPinny@yahoo.com atau kunjungi blog aku di Pinkpinnysspecialblog.blogspot.com.
Cerita apa aja, Tanya apa aja atau komentar apa aja masih dipersilahkan dan belum dipunggut biaya sepeser pun. Hehehe… Thanks….